Belajar Korupsi, di Mana Sajakah?

MINGGU, 24 Maret 2002, Pusat Klinik Pendidikan Indonesia (PKPI) Yogyakarta mengundang saya dan rekan Darmanto Jatman menjadi pembicara dalam kegiatan seminar bertema AFTA 2003 dan Kesiapan Sekolah dan Orangtua Menghadapinya. Dalam forum itu, seorang siswa SMU, Tony, dengan sangat santun nyaris tak terdengar, bertanya: Para tokoh dan pemegang kekuasaan negeri kita saat ini adalah hasil didikan dalam negeri (maupun luar negeri) tahun 1970-1980-an. Dulu, mereka sarat dengan idealisme se-perti kami kaum muda sekarang ini. Namun, toh, mereka itu juga yang dewasa ini terlibat dalam carut-marut korupsi. Bagaimana dengan kami ini, berapa tahun lagi, kapan, dan bagaimana dapat mempersiapkan diri?

Jawaban Darmanto Jatman ternyata normatif sekali, antara lain dinyatakan bahwa sebaiknya diraih setinggi mungkin titel maupun jabatan meskipun hal itu tidak selalu menjamin kualitas pribadi. Jawaban saya lebih mengambang lagi. Menggunakan gambar gajah yang kelihatannya berkaki delapan, saya meminta Tony menunjuk secara pasti mana keempat kaki gajah yang sebenarnya. Ia tidak berhasil, dan saat itu saya beritahu kunci-nya, yaitu pandai-pandailah menyiasati segala sesuatu. Zaman pun perlu disiasati!
Terus terang, saya sangat menyesal tidak dapat memberikan jawaban memuaskan kepada Tony. Pertanyaan itu pasti menjadi pertanyaan setiap insan generasi seusia Tony.

Dan kalau mau dirumuskan lebih ekstrem, Tony mungkin sekali akan bertanya: Di mana orang belajar korupsi itu? Adakah sekolah korupsi itu? Mengapa mereka yang dulunya penuh idealisme perjuangan, kini larut dalam hingar-bingar tindakan tidak terpuji dan merugikan negara, bangsa, dan sesama? Apakah sekolah mampu menanamkan kejujuran, dan kalau dapat bagaimanakah caranya?

Di sekolah
Prof Dr Djohar yang pernah dua kali menjadi Rektor IKIP Yogyakarta-pendiri PKPI-seolah-olah putus asa melihat kenyataan betapa pendidikan Indonesia (hanya) menghasilkan maling-maling belaka. Pencurian kendaraan bermotor, di wilayah Yogyakarta, misalnya, dilakukan justru sebagian (besar?) oleh mahasiswa. Hal yang sama terjadi pada pengguna narkoba dan obat terlarang sejenisnya yang sebagian besar juga dilakukan oleh golongan terpelajar.

Demikian pula benarlah adanya, betapa korupsi justru dilakukan oleh kaum cerdik pandai di negeri ini baik mereka itu dulunya mengenyam pendidikan di dalam negeri, maupun juga tidak kurang yang mengenyamnya di luar negeri. Atas fakta-fakta ini masihkah kita dapat berbangga terhadap pendidikan dan hasil-hasilnya?
Tanpa disadari, sejak kecil (usia dini) anak-anak sudah belajar curang dan dicurangi oleh/dari orangtua, lingkungan, dan tidak ketinggalan: sekolah. Salah satu contoh paling menyedihkan yang sangat mudah kita jumpai di sekolah di mana pun, ialah lemahnya disiplin kepala sekolah atau guru dan pihak lain.

Sangat sedikit sekolah yang mengawali (dan mengakhiri) proses pembelajaran tepat waktu. Siapa pun enak saja mengabaikan disiplin waktu, bahkan lalu siapa pun menganggap wajar/biasa bila kepala sekolah datang terlambat (namun pulang cepat), atau guru baru masuk kelas setelah limabelas menit dari bunyi bel.
Murid dicurangi dan disuruh menurut saja apa yang dikatakan guru. Kalau guru berkata: Anak-anak masuk ke kelas, mereka masuk kelas, meskipun sangat sering terjadi guru tidak segera memasuki kelas.
Anak-anak di bangku SD pasti masih relatif taat terhadap perintah curang guru, namun tidaklah demikian bagi murid SLTP atau jenjang di atasnya. Lihat saja pada jam efektif sekolah, kerumunan murid berseragam di pinggir jalan, di mulut gang, di halte, di pasar, atau tempat umum lainnya. Mengapa mereka berada di sana? Karena sekolah tidak peduli lagi terhadap disiplin, dan itu berarti sekolah tidak menjalankan proses pembelajaran secara standar.

Dari situlah anak-anak (sudah mulai) belajar korupsi atau setidak-tidaknya belajar curang. Siapa yang mengajarkannya? Pasti sekolah yang bersangkutan. Dari hari ke hari murid belajar tidak produktif, meniru yang dilakukan oleh kepala sekolah atau guru.
Dari minggu ke minggu murid-murid merasakan betapa sekolah tidak mengembangkan kepedulian terhadap hal-hal yang baik dan benar, melainkan justru semakin mentolerir terhadap hal-hal yang jelek dan salah. Dari bulan ke bulan dan sangat boleh jadi dari tahun ke tahun murid-murid selalu disodori kenyataan curang soal waktu, nilai akademik, sikap dan perilaku, serta masalah keuangan karena itu lengkaplah pembelajaran korupsi yang diterimanya secara langsung di tempat mereka seharusnya belajar menempuh ilmu, menggembleng disiplin.

Sesuram itukah kondisi sekolah-sekolah kita? kalau fokus perhatian kita pada masalah disiplin (waktu), jawabannya adalah Ya! Dan kalau kita yakin bahwa disiplin merupakan bibit unggul kejujuran, kita perlu sangat prihatin melihat realita suram di sekolah-sekolah kita yang dari menit ke menit mempraktikkan ketidakdisiplinan.

Di mana lagi?
Di mana lagi orang belajar korupsi? Jargon-jargon pembangunan ternyata menyimpan amunisi dan peluang besar untuk korupsi, sebut misalnya jargon Siap menyambut AFTA 2003. Seorang teman karib yang sehari-hari mengelola kebun pembibitan tanaman buah-buahan berkisah: Saya harus menyediakan berkuintal-kuintal biji kopi dan cokelat atas pesanan suatu instansi.

Dalam waktu dekat, semua kabupaten di suatu wilayah provinsi diharuskan menghijaukan daerahnya dengan tanaman kopi dan cokelat, dan semua itu dilakukan untuk mengantisipasi AFTA 2003 ke depan. Ketika karib saya menyodori tiga klasifikasi jenis bijih, yang dipilih justru bijih kelas tiga (terjelek).

Ia sebenarnya memberontak dalam hati: Bagaimana mungkin bijih jelek akan mampu menghasilkan buah yang baik sehingga siap bersaing di pasar bebas (AFTA)? Ketika ia menawarkan bibit tanaman hasil stek, tawaran itu ditolak dengan berbagai alasan.
Akhirnya, teman karib saya ikut saja memenuhi permintaan, namun hitungan kasarnya menyebutkan: Dengan cara memilih bijih kelas tiga, orang itu sudah dapat mengantungi keuntungan pribadi (korupsi) seratus juta rupiah.

Pembelajaran korupsi di birokrasi merambah-meluas sampai ke luar birokrasi, sampai-sampai person-person yang bergerak di bidang usaha individual pun harus semakin pandai bernegosiasi koruptif. Maka benarlah adanya kalau korupsi itu ada di mana-mana.

Kalau dulu ada anggapan bahwa suatu tindakan disebut koruptif kalau si pelaku orang birokrasi, kini harus dimengerti ternyata siapa saja (orang negeri ataupun orang swasta) dapat bertindak korupsi dan dapat diperkarakan secara sama.

Revolusi pembelajaran di sekolah
Dunia pendidikan dapat (bahkan harus) memerangi korupsi, dan salah satu caranya ialah lewat revolusi pembelajaran. Maksudnya, sekolah-sekolah perlu mengadakan perubahan mendasar dalam kegiatan pembelajarannya.

Caranya, pertama, sekolah harus semata-mata mengedepankan kepentingan anak. Sedikit pun anak tidak boleh dirugikan terutama dalam hal menikmati proses pembelajaran.

Kedua, oleh karena itu, disiplin mutlak perlu diingatkan, terutama sejak bel masuk (dan tidak boleh berkurang semenit pun) anak-anak harus mendapatkan pelajaran dari guru sampai batas akhir jam pelajaran sebagaimana telah terjadwal. Apa pun kesulitan yang sedang terjadi di sekolah itu-misalnya kekurangan guru-hendaknya tidak menjadi hambatan penegakan disiplin pembelajaran ini.

Ketiga, sekolah segera meminta kepada orangtua/wali murid untuk menjadi pengontrol langsung ke sekolah, sehingga orangtua dapat seketika bertanya (bahkan protes) ketika anaknya pulang lebih awal atau mengalami kekosongan jam pelajaran. Permintaan langsung kepada masyarakat seperti itu sangatlah mudah dilakukan oleh sekolah, dan kita perlu yakin bahwa kalau diminta dengan jelas, orangtua/masyarakat pasti akan jelas pula menanggapinya.

Keempat, revolusi pembelajaran hanya dapat dilakukan dari bawah (oleh sekolah), dan terlalu sulit berharap dilakukan dari atas. Artinya, masing-masing sekolah harus memulai tanpa harus menunggu perintah dari atasan. Di sini pulalah otonomi sekolah mulai ditegakkan, yaitu ketika sekolah berani memulai melakukan revolusi pembelajaran.(JC Tukiman Taruna Pelaksana lapang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS))

Tulisan diambil dari Kompas, Jumat, 26 April 2002

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan