Menanti Komisi Pemberantasan Korupsi
Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita saat ini, dibutuhkan keseriusan dan dukungan semua pihak. Sebab, dalam kenyataan niat itu baru sebatas ucapan oleh pemerintah dan para elite politik yang ditujukan untuk menenangkan masyarakat. Belum terlihat aksi konkret yang betul-betul sejalan dengan tujuan reformasi yang menghendaki korupsi diberantas sampai ke akar-akarnya.
Jikapun banyak kasus korupsi yang diungkap, nuansanya baru sampai pada tataran kuantitas. Belum berada pada lingkaran kualitas, seperti dukungan alat bukti, dakwaan dan tuntutan hukum yang maksimal, serta belum sampai pada upaya mengembalikan uang negara yang dikorup.
Pemberantasan korupsi yang hanya mengejar kuantitas tanpa dibarengi aspek kualitas, misalnya tidak menyentuh koruptor kelas kakap, tidak terlepas dari lemahnya political will pemerintah, sehingga korupsi tetap jalan tanpa hambatan. Bila koruptor kakap tersentuh hukum, biasanya karena ada desakan publik, pada akhirnya dicarikan pembenaran untuk meloloskannya--entah dari pelaksana hukum sendiri atau oknum politikus. Karena itu, diperlukan revolusi sistem dan budaya politik untuk bangkit melawan perilaku korupsi, baik pada substansi pengaturannya maupun moral pelaksananya.
Itulah yang mendasari lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi dengan harapan ada kemajuan dalam memberantas korupsi. Kehadiran komisi ini tidak semata-mata mengganti peran kepolisian atau kejaksaan dalam menangani korupsi tertentu, tapi yang terpenting bagaimana menggelorakan semangat untuk terus berupaya mengikis habis perilaku korupsi. Bila komisi ini juga gagal mengemban misinya, berarti pupuslah harapan membebaskan negeri ini dari korupsi.
Presiden telah menetapkan panitia seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang akan menyeleksi para calon pemimpin komisi tersebut. Dari sini para calon pemimpin tersebut akan diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memilih lima orang (Pasal 30 ayat 1 UU KPK). Proses rekrutmen oleh panitia seleksi dan DPR tentu saja harus transparan dan memperhatikan aspirasi dan masukan warga masyarakat.
Jikapun ada yang meragukan integritas anggota panitia seleksi, misalnya karena ada yang pernah membela koruptor atau karena ada unsur pemerintah yang masih diragukan independensinya, pada akhirnya akan terlihat pada kualitas kerjanya. Apa mampu memilih sosok pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi yang betul-betul bersih dan berani, atau rada-rada nekat, seperti yang sering didengungkan oleh Achmad Ali, guru besar ilmu hukum Universitas Hasanuddin, Makassar? Sebab, memberantas korupsi saat ini tidak cukup hanya integritas moral dan penguasaan ilmu, tetapi juga harus dibarengi dengan keberanian, seperti pernah diukir almarhum Baharuddin Lopa.
Kenapa harus berani? Karena yang akan dihadapi adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, berduit, dan banyak akal liciknya, seperti pura-pura sakit atau sembunyi di luar negeri dengan alasan berobat. Pemimpin komisi ini nanti tidak hanya tahan godaan dan tekanan, tapi juga harus berani menerima risiko ancaman dan teror.
Mencari sosok yang bersih dan berani memang tidak gampang. Apalagi belakangan ini makin banyak bermunculan orang-orang oportunis yang seolah-olah reformis, sehingga sangat sulit membedakan mana pejuang reformasi dan mana yang memanfaatkan reformasi untuk kepentingannya sendiri. Namun, bukan berarti sosok semacam itu tidak ada sama sekali; ia bisa ditemukan di kampus-kampus, kalangan pengacara, atau lembaga swadaya masyarakat yang selama ini sudah memperlihatkan komitmennya memberantas korupsi.
Besarnya harapan masyarakat pada komisi ini karena begitu luasnya tugas dan wewenang yang diberikan. Ada tiga kategori korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 11 UU KPK. Pertama, melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara. Kedua, mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Ketiga, menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.
KPK juga bisa mengambil alih penyidikan atau penuntutan suatu perkara korupsi yang sedang ditangani kepolisian atau kejaksaan (Pasal 8 ayat 2 UU KPK). Pengambilalihan dilakukan bila ada laporan warga masyarakat bahwa perkara korupsi itu tidak ditindaklanjuti, proses penanganannya berlarut-larut tanpa alasan yang jelas, terkesan melindungi pelaku, ada campur tangan eksekutif, yudikatif, atau legislatif, atau karena keadaan lain yang sulit diatasi dan dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Tapi bila KPK telah melakukan penyidikan atau penuntutan, ia tidak dibenarkan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan (Pasal 40 UU KPK), sehingga harus berhati-hati sebelum suatu kasus ditingkatkan ke penyidikan.
Struktur pemimpin KPK terdiri atas lima orang (masing-masing satu ketua dan wakil ketua merangkap anggota, dan tiga anggota), empat orang tim penasihat, serta dilengkapi pegawai sebagai pelaksana tugas. KPK juga membawahi empat bidang yang masing-masing melaksanakan tugas dan wewenang tersendiri tapi tetap dalam satu sistem, yaitu Bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Yang menarik, model KPK agak mirip dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hong Kong yang dibentuk pada 1974. Kewenangannya pun begitu luas, yang dapat dilihat pada struktur organisasinya. Pertama, Departemen Operasi (the Operations Department) yang anggotanya para penyelidik dan penyidik yang direkrut dari kalangan masyarakat dan pelaksana hukum yang betul-betul teruji kualitas moral dan keberaniannya.
Ia juga menerima dan menampung semua laporan dari masyarakat, baik pada pelakunya maupun data harta benda yang diduga hasil korupsi. Setiap laporan dan informasi yang masuk segera ditangani tanpa memandang kedudukan dan status pelakunya.
Kedua, Departemen Hubungan Masyarakat (the Community Relations Department) yang bertugas memberi penerangan kepada masyarakat. Ia sangat intens melancarkan kampanye antikorupsi dengan maksud membentuk opini masyarakat bahwa korupsi itu perbuatan dosa dan jahat. Tidak hanya disampaikan oleh petugas di departemen, tetapi juga oleh pastor di gereja-gereja, bahkan memakai tenaga sukarelawan.
Ketiga, Departemen Pencegahan Korupsi (the Corruption Prevention Department) yang mengawasi proses pelaksanaan pemerintahan dan badan-badan publik agar tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada korupsi, seperti kolusi dan nepotisme. Fungsinya menjaga dan mengurangi kemungkinan terjadinya penyelewengan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik. Sasaran akhirnya agar para pejabat publik bertugas secara terbuka, adil, efisiensi, dan tidak mudah tergoda melakukan korupsi.
Pada awal pembentukan ICAC, banyak yang meragukannya, bahkan ada yang mengecap sekadar upaya pemerintah untuk meredam ketidakpuasan publik. Tapi kesangsian itu meleset, karena sejak 1980 (enam tahun setelah ICAC bekerja), hampir seluruh jaringan dan sindikat korupsi berhasil ditumpas. Hingga kini, Hong Kong merupakan salah satu negara yang berhasil memberantas korupsi.
Apakah akan seperti itu sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi? Jawabnya, sangat bergantung pada hasil kinerja panitia seleksi.(Marwan Mas, Pengajar Fakultas Hukum Universitas 45, Makassar)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, Rabu, 8 Oktober 2003