Problema Menumpas Korupsi

Belakangan ini Republika memasang iklan mencolok di halaman depan bagian atas soal Jihad Tumpas Korupsi. Di sebelah tengahnya ada pesan singkat yang bernada mengingatkan dari tokoh-tokoh terkemuka.

Misalnya, pada hari Jumat (5/12/2003), pesan dari Hidayat Nur Wahid, ketua umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Korupsi adalah terorisme sejati penghancur negeri ini. Di sisi kirinya ada logo dua organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Tentu saja, penayangan pesan tersebut bermakna positif, yang tujuannya mengingatkan publik akan bahaya korupsi dan oleh karenanya diharapkan bersama-sama ber-jihad tumpas korupsi.

Tetapi mungkin, apa yang terus diingatkan banyak tokoh agama itu, persis dengan kisah sufi berikut. Ini kisah sufi yang saya ceritakan ulang dari pengumpul kisah sufi Idris Shah.

Suatu hari Nabi Khidir memberitahu bahwa sebentar lagi seluruh air yang ada, akan berubah. Maksudnya, siapa yang meminum air tersebut akan menjadi gila. Maka disarankannya kepadanya untuk menimbun air, untuk mengantisipasi kelak, kalau seluruh air yang ada membuat semua orang yang meminumnya: gila. Tapi hanya satu orang saja yang percaya.

Maka, berusaha keraslah orang itu. Membikin kolam penimbunan air, di sebuah tempat terpencil yang dirahasiakan, sehingga diperkirakan air itu cukup untuk menghidupinya sampai saat, seluruh air yang ada tak lagi membuat gila para peminumnya.

Dan, tibalah saatnya. Betul. Seluruh orang meminum air yang ada, dan gila semua -- kecuali, tentu yang hanya satu orang tadi. Tingkah laku seluruh orang menjadi aneh, karena memang gila. Tetapi, karena hanya dia yang tidak gila, maka sebaliknya seluruh orang memandangnya sebagai aneh dan: gila.

Ia satu-satunya orang waras di masyarakat gila. Tetapi, bagi masyarakat (yang gila itu), ia satu-satunya orang yang tidak waras alias gila. Di tengah masyarakat yang semuanya gila, dan hanya ada satu orang waras: maka siapa yang gila sesungguhnya?

Nyatanya orang tadi mulai merasa gila sendiri. Daripada pusing-pusing, maka ia tinggalkan air persediaannya, dan diminumnyalah air biasa -- yang membuat orang gila itu. Dan aneh, apa yang terjadi? Masyarakat, orang-orang sekitarnya, mengatakan bahwa ia sudah tidak gila lagi. Mereka bersorak bergembira sang pemuda sudah sembuh dari gilanya.

Kisah di atas menjadi relevan kiranya, bila dikaitkan dengan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi yang merupakan kesepakatan antara Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.

Gerakan tersebut dideklarasikan di Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang, Jawa Timur. Gerakan itu tentu disertai oleh bentuk keprihatinan moral yang mendalam. Apakah NU-Muhammadiyah mampu melawan korupsi, mengingat dalam kondisi Indonesia saat ini, masih ibarat berteriak di tengah padang pasir?

Ibarat pula, seorang gila di tengah masyarakat gila di atas? Dapatkah melawan korupsi, di mana, meminjam Nurcholish Madjid, Indonesia tergolong sebagai salah satu bangsa paling korup di dunia, dapat dikatakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikutuk?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut kini telah menjadi klasik. Tetapi, bukankah perjuangan melawan korupsi, merupakan perlawanan yang tak pernah kunjung usai?

Setidaknya NU-Muhammadiyah telah berbuat sesuatu. Mereka menyerukan pada masyarakat untuk tidak ikut- meminjam cerita di atas gila. Setidaknya NU-Muhammadiyah mengingatkan agar kita jadi bagian dari orang waras, walaupun harus hidup di tengah-tengah masyarakat (lebih tepat sistem) gila.

Korupsi di Indonesia memang sudah sangat parah. Menurut ukuran beberapa lembaga transparansi internasional, keparahan itu ditunjukkan oleh tingginya ranking korupsi yang ada. Tetapi, anehnya, walaupun dinilai sebagai juara korupsi, kita yang sehari-hari hidup di Indonesia ini, sulit menemukan sosok koruptornya. Ibaratnya Indonesia juara korupsi tanpa koruptor.

Kalau koruptor diidentikkan dengan orang gila dalam cerita di atas, maka, kalau kita sendiri juga gila, mana mungkin bisa melihat sosok koruptor yang sejati sebab kita sendiri juga bagiannya.

Hanya yang waras saja yang bisa melihat sosok yang gila, yang korup. Tetapi, di tengah-tengah masyarakat (sistem) korup, maka yang tidak korup dianggap aneh (gila).

Demikian ilustrasi ekstremnya. Maka, dalam konteks ini, setidaknya NU-Muhammadiyah telah mengupayakan sesuatu, setidaknya menyuarakan pada publik bahwa, sebagaimana Ronggowarsito menegaskan agar, tidak larut di zaman gila (edan), dan tetap ingat (eling) dan waspada- untuk senantiasa menjadi orang waras, walaupun satu jumlahnya.

Soal efektif atau tidak gerakan antikorupsi, khususnya yang ditempuh oleh NU-Muhammadiyah di atas, masih perlu pengujiannya di lapangan. Perlu waktu dan upaya komprehensif, dan tentunya tidak hanya berhenti sebatas suara moral.

NU-Muhammadiyah, sebagaimana lembaga-lembaga lain yang mengisi wilayah civil society memang sudah semestinya berkewajiban selalu meneriakkan perlawanan terhadap korupsi dan tampaknya tidak usah terjebak apakah efektif atau tidak. Yang penting selalu menggemakan dan melakukan langkah-langkah positif ke arah sana.

Salah satu hal, yang menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia ialah, sikap pasif dan permisif masyarakat atas perilaku dan sistem yang korup dalam kehidupan sehari-hari mereka, dalam lingkup kecil dan besar.

Korupsi masih dianggap hal yang biasa saja, dan dapat dimaklumi. Mungkin karena telah demikian mensistem, masyarakat tak kuasa menolaknya, dan akhirnya larut dalam sikap pasif dan permisif. Mentalitas sedemikianlah yang perlu didobrak.

Kesadaran bahwa korupsi ialah musuh bersama (common enemy) mau tidak mau harus terus ditumbuhkan. Agar, masyarakat betul-betul sampai pada titik tertinggi kepekaannya terhadap praktik-praktik korupsi dan akhirnya berupaya keras menangkalnya.

Di sinilah, tampaknya peran NU-Muhammadiyah (juga elemencivil society yang lain) memperoleh signifikansinya. Kampanye menggiring opini bahwa korupsi itu musuh bersama, tentu baru merupakan tahap yang paling awal dalam pemberantasan korupsi.

Perlu kerja yang lebih keras dan energi yang besar dan terjaga, dalam melawan korupsi. Karena korupsi adalah bagian dari kejahatan manusia, dan kejahatan itu seusia manusia itu sendiri, maka sudah semestinya, upaya perlawanan atas kejahatan merupakan agenda seumur hidup, tiada henti.

Mengubah mentalitas masyarakat yang pasif dan permisif tersebut, tentu bukan perkara sepele. Dibutuhkan kesabaran lebih, bahkan boleh jadi melebihi kesabaran para nabi dalam meyakinkan umatnya. Tetapi inilah esensi gerakan moral.

Harus selalu ada yang mengingatkan. Dan elemen-elemen yang mengingatkan itu, tidak seyogyanya berdiri sendiri-sendiri, melainkan bersinergi satu sama lain, bahu-membahu menyuarakan perlawanan terhadap perilaku dan sistem yang korup.

Kehendak politik (political will) dari pemerintah dan semua elemen yang ada (birokrasi, elite politik, militer) jelas diperlukan. Dalam rangka membersihkan sistem dari noda korupsi, diperlukan penataan-penataan ulang atas berbagai produk hukum, sehingga mempersempit peluang penyalahgunaan kekuasaan. Di samping itu, penegakan hukum mutlak adanya.

Harus ada sinergi dua arah: dari bawah dan dari atas. Dari bawah, adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan perlawanan (secara ketat dan aktif) terhadap korupsi.

Dengan kata lain, masyarakat sudah tidak pasif dan permisif lagi dalam merespons korupsi di lingkungan keseharian mereka. Mentalitas demikian merupakan modal utama dan amat berharga bagi masa depan pemberantasan korupsi.

Dari atas, adalah penciptaan desain sistem yang memepet peluang bagi siapa saja untuk melakukan korupsi. Sistem yang mengarahkan ke kondisi serbakorup, dipangkas, oleh political will kekuatan politik tingkat atas.

Iklim kompetisi yang sehat dalam berusaha harus terjamin. Dalam hal ini, pula, efeknya adalah adanya jaminan akan peningkatan kesejahteraan masyarakat.(M Alfan Alfian M, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Republika, Rabu, 17 Desember 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan