"Kalau Anda membunuh saya, tak ada gunanya, karena orang lain akan melanjutkan penyelidikan". Lebih-kurang begitulah kutipan terkenal dari penyidik Komisi Antikorupsi Hong Kong (ICAC) ketika menghadapi teror, ancaman, dan intimidasi dari pelaku korupsi. Kejadian serupa pun sedang mendera Indonesia. Belum lepas dari pengeboman di rumah pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan lalu, kali ini giliran dua pegawainya dianiaya orang tidak dikenal di Hotel Borobudur, Jakarta, saat menjalankan tugas pada 3 Februari lalu.
Seakan-akan tidak ada jeranya, kepala daerah kembali ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal tahun ini karena terlibat korupsi. Kepala daerah yang baru saja terjaring operasi tangkap tangan KPK pada Rabu pekan lalu adalah Bupati Mesuji, Khamami.
Khamami ditangkap bersama tujuh orang lainnya karena diduga melakukan transaksi suap terkait dengan proyek-proyek infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Mesuji, Lampung. Dari tangan pelaku, KPK menyita uang suap sebesar Rp 1 miliar.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menduduki peringkat 27 dunia untuk kategori “Top Transparency and Good Governance Think Tank” dalam laporan “Global Think Tank” versi The Lauder Institute of the University of Pennsylvania, USA. Sudah delapan kali berturut-turut sejak tahun 2010 ICW mendapat peringkat 30 besar.
Bencana telah dijadikan sebagai ladang korupsi. Para pelaku tidak hanya berani menyelewengkan dana dan proyek bantuan, tetapi juga tega memeras korban bencana.
Sepertinya sudah tidak ada lagi tempat ”tabu” bagi para pelaku korupsi untuk melancarkan aksinya. Setelah kegiatan terkait ”ketuhanan”, seperti pengadaan Al Quran dan penyelenggaraan ibadah haji, kini bantuan ”kemanusiaan” untuk korban bencana pun jadi sasaran korupsi.
Transparency International (TI) merilis hasil survei indeks persepsi korupsi 2018. Dalam survey terbarunya, Indonesia berada di ranking 89 dengan skor 38, naik 1 skor dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun hasil survei terbaru ini cukup melegakan, namun Pemerintah tidak bisa berbangga diri mengingat kenaikan skor IPK Indonesia di 2018 sebagian besar disumbang oleh perbaikan governance pada sektor ekonomi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merilis daftar nama 46 mantan napi kasus korupsi yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk periode 2019-2024. Daftar ini merupakan tambahan setelah mendapatkan masukan masyarakat dari yang sebelumnya ditemukan 38 caleg, kemudian naik menjadi 40 orang, dan terakhir sejumlah 46 caleg teridentifikasi sebagai mantan napi korupsi.
2.357 Pegawai Negeri Sipil (PNS) telah divonis bersalah karena terbukti melakukan korupsi. Namun baru 891 yang diberhentikan secara tidak hormat berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 14 Januari 2019. Masih ada 62 persen PNS yang belum dipecat, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian negara akibat gaji yang terus dibayarkan. Oleh sebab itu, proses pemecatan harus segera dilakukan.
Bencana berturut-turut melanda Indonesia. Lebih dari lima bencana alam besar terjadi sepanjang 2018. Mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, tanah longsor, banjir, hingga fenomena likuifaksi. Tapi sayang, walau di tengah bencana korupsi tetap terjadi.
Mabes Polri membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel Baswedan. Tapi tim yang terdiri dari berbagai kalangan tersebut dianggap politis dan diragukan efektivitasnya.
Mengawali 2019, KPK memulai gebrakan baru dengan keberhasilannya menuntut korporasi atas tindak pidana korupsi.
Korporasi PT Nusa Konstruksi Enjiniring (NKE) yang sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah menjadi korporasi pertama yang dituntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan dijatuhi pidana.