Hari jadi Komisi Yudisial Rabu (2/8) mendatang menjadi momentum untuk merevitalisasi kewenangan lembaga tersebut. Kewenangan yang tertuang dalam UU No 22 Tahun 2004 dianggap belum cukup. Apalagi, setelah muncul resistensi Mahkamah Agung.
Putusan uji materi Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih terus dikritik. Kritikan bukan hanya dilayangkan pejabat negara, melainkan juga oleh praktisi hukum.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengakui penyerahan bisnis TNI kepada Perusahaan Pengelola Aset masih terganjal utang yang dimiliki unit-unit usaha di bawah TNI.
Kekayaan seorang pejabat yang melebihi batas kewajaran tidak bisa dijadikan alat pembuktian terbalik dalam kasus dugaan korupsi. Harta berlebih yang tak wajar hanyalah indikasi bahwa sang pejabat memperolehnya dari korupsi.
Pemberhentian KH Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat, dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Kehormatan DPR seakan memunculkan harapan baru di Senayan. Lembaga internal yang dibentuk dengan mandat menegakkan kode etik DPR ini mulai menunjukkan taringnya terhadap laporan pelanggaran kode etik yang memang jamak dilakukan anggota DPR.
Manajemen PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) mengaku masih menunggu surat keputusan resmi dari pemerintah terkait penunjukan untuk mengelola bisnis TNI. Menurut Wakil Dirut PPA Raden Pardede, pihaknya belum bisa bekerja bila belum mendapat persetujuan pemerintah.
Menghadapi tersangka korupsi yang mangkir saat dipanggil untuk diperiksa dan kemudian kabur, Kejaksaan Agung akan menayangkan gambar tersangka di televisi. Untuk itu, Kejaksaan Agung bekerja sama dengan Departemen Komunikasi dan Informatika.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 5 miliar kepada Darianus Lungguk Sitorus, Direktur Utama PT Torganda. Meski putusan hakim lebih rendah daripada tuntutan jaksa (12 tahun), Sitorus langsung menyatakan banding.
Sejauh ini belum jelas indikator mengenai penggunaan dana penyerapan aspirasi masyarakat yang dipergunakan anggota DPR pada masa reses. Akibatnya, pertanggungjawabannya dikhawatirkan hanya terhenti sebatas aspek administrasi saja.
Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyatakan bahwa pasal 2 ayat 1 UU No 31/1999 tentang Korupsi tidak punya kekuatan hukum mengikat tidak otomatis dipatuhi MA (Mahkamah Agung). MA menegaskan tidak menjadikan putusan tersebut sebagai satu-satunya pertimbangan dalam memutuskan kasasi kasus korupsi.