Perjelas Definisi Kerugian Negara

Kalau diseret ke pidana, jadi rancu.

Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Yasonna Laoly, menilai sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memasukkan korupsi di sektor swasta ke Undang-Undang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi. Sebab, yang lebih penting sekarang ini adalah memberantas korupsi di dalam tubuh pemerintah itu sendiri.

Ini menambah kerjaan saja. Fokuskan dulu pada kasus yang masih belum tuntas. Kok, mau tambah ke sektor swasta, kata dia saat dihubungi Tempo kemarin. Tapi ia tidak memungkiri banyak kasus di swasta yang merugikan perekonomian negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Korupsi, Yasonna menjelaskan, ada tiga hal yang menjadi tolok ukur tindakan korupsi, yakni melanggar hukum, merugikan negara, dan memperkaya diri sendiri (pasal 2). Jika korupsi di sektor swasta akan dimasukkan, harus diperjelas definisi soal merugikan negara. Kalau pejabat negara jelas, yang dirugikan uang negara. Kalau swasta? ucap politikus dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Kalaupun ada kalangan swasta yang meminjam uang negara, menurut Yasonna, masuk wilayah perdata jika terjadi sesuatu di kemudian hari. Kalau diseret ke pidana, jadi rancu.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengatakan lembaganya mengusulkan korupsi di sektor swasta masuk draf amendemen Undang-Undang Antikorupsi. Sebab, korupsi di sektor swasta sudah menjadi perhatian dunia dan tidak kalah marak dibanding sektor publik. Alasan lainnya, Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi pada 2003 menjadi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang pengesahan konvensi itu. Korupsi sektor swasta, kata dia, diatur dalam pasal 12, 21, dan 22.

Akil Mochtar dari Fraksi Partai Golkar juga berkeberatan dengan usul KPK. Selain karena konstruksi hukumnya belum jelas, ia khawatir produk hukum baru ini justru akan merusak sistem investasi di Indonesia. Berbeda halnya jika yang hendak dijerat adalah badan usaha milik negara dan perbankan yang menggunakan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Kalau pakai keuangan negara seperti BUMN itu wajib, ucapnya. Namun, kalau sumber keuangan yang dipakai murni dari swasta, tidak ada alasan tepat untuk memasukkannya.

Kalangan korporasi swasta tak secara tegas menolak usul KPK itu. Hanya, mereka meminta aturan yang baru nanti dibuat transparan dan sejelas mungkin. Yang menjadi concern adalah harus jelas semua persepsi mengenai undang-undang dan peraturan antara pelaku bisnis dan pemerintah, kata Direktur Utama PT Aqua Golden Mississippi Tbk. Willy Sidharta.

Direktur Hubungan Perusahaan PT Exelcomindo Pratama Tbk. Rudiantara mengaku bingung terhadap rencana KPK mengatur korupsi sektor swasta itu. Sebab, praktek bisnis di sektor swasta menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. AGUSLIA HIDAYAH TITO SIANIPAR

Sumber: Koran Tempo, 7 Agustus 2006

Sementara itu . . .

Perlu Sanksi bagi Swasta yang Korup

Jakarta, Kompas - Korupsi bisa terjadi tak hanya karena adanya keinginan dari pejabat atau penyelenggara negara saja, tetapi juga karena adanya kongkalikong antara pejabat dan pelaku usaha untuk dapat proyek pemerintah. Untuk itu, dalam revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu dipikirkan soal sanksi bagi swasta yang korup, tak cuma sanksi pidana, tetapi juga sanksi tidak boleh ikut tender pemerintah lagi.

Ini disampaikan Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang- Undangan Departemen Hukum dan HAM Wicipto Setiadi kepada Kompas, Jakarta, Minggu (6/8). Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi perlu segera dilakukan untuk mengharmonisasikan ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi (UN Convention Against Corruption).

Konvensi PBB Menentang Korupsi mengakui korupsi tidak hanya melibatkan pejabat-pejabat publik (public officials), tetapi juga pelaku usaha. Di dalam Pasal 21 UN CAC secara jelas dicantumkan pasal penyuapan di sektor swasta.

Dalam Pasal 21 UN CAC terjadi perluasan praktik penyuapan, tidak lagi sekadar adanya perjanjian antara yang menyuap dan yang disuap, melainkan UN CAC memperluas pengertian suap dengan memasukkan unsur menawarkan, yang lebih luas daripada unsur menjanjikan.

Muncul perkembangan pemikiran, perlunya sanksi bagi pihak swasta yang melakukan korupsi. Sanksi yang dijatuhkan tidak hanya pidana bagi pihak swasta yang korupsi, melainkan juga sanksi untuk tidak boleh ikut tender dalam proyek pemerintah, ujar Wicipto. (VIN)

Sumber: Kompas, 7 Agustus 2006
-------------
Perlu Persiapan Dua Tahun Tangani Korupsi Swasta

JAKARTA - Kesiapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan korupsi di sektor swasta masih diragukan. Pemberantasan korupsi uang negara saja belum berjalan dengan baik. Apalagi kalau sudah merambah sektor swasta.

Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Rudi Satrio mengatakan, kalau KPK menangani masalah tersebut, paling tidak harus mempersiapkan diri selama dua tahun. Yaitu, untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas penegak hukum.

Selain itu, faktor paling utama yang harus dilakukan ialah memasukkan korupsi swasta ke UU Tipikor. Sebab, selama ini persoalan korupsi di swasta masuk ke delik pidana umum, yakni pasal 372 dan pasal 374 KUHP.

Secara hukum, tidak mungkin terminologi korupsi sektor swasta masuk ke UU Tipikor karena tidak ada unsur kerugian negara, ungkapnya.

Meski demikian, bukan berarti hal itu tidak bisa dilakukan. Sebab, UU Tipikor juga memuat persoalan suap dan gratifikasi. Dua pasal itu tidak ada yang berhubungan dengan korupsi, namun dapat digunakan untuk menjerat oknum di luar pemerintah.

Rencana untuk menangani korupsi sektor swasta tersebut diungkapkan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dalam sambutan pada lokakarya nasional Pelaksanaan Konvensi PBB Menentang Korupsi Khususnya di Sektor Swasta di Hotel Bumi Karsa Bidakara kemarin. Kini disiapkan UU No 7 Tahun 2006 yang menjadi instrumen KPK untuk menjaring pelaku korupsi di sektor swasta.

Dikonfirmasi secara terpisah, Ketua Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Firmansyah Arifin mengungkapkan, pemberian kewenangan kepada KPK untuk menangani korupsi di sektor swasta tidak berlebihan. Pasalnya, secara realitas, polisi dan jaksa selama ini tidak siap mengatasi kasus-kasus korupsi tersebut.

Apalagi, KPK punya kewenangan untuk melakukan supervisi terhadap kasus penanganan korupsi yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian, tambahnya.

Yang penting, kata alumnus Ilmu Hukum UNS Surakarta tersebut, ada penguatan kapasitas KPK. Harus ada jaminan politik dan akuntabilitas KPK. Jangan sampai kita terlalu berharap kepada lembaga ini, namun pelaksanaannya tidak semestinya, jelasnya. (ein)

Sumber: Jawa Pos, 7 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan