Kemampuan Gayus untuk merusak penegakan hukum terhadapnya sebenarnya tidak terlalu mencengangkan. Kita semua paham betapa bobrok cara negeri ini membangun penegakan hukum yang rapi. Tetapi bukan berarti tidak menimbulkan sensasi.
Dua mantan pejabat Kementerian Sosial, Amrun Daulay dan Mulyono Machasi, memberikan kesaksian yang memberatkan terhadap mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, terdakwa dalam kasus korupsi pengadaan sapi impor, mesin jahit, dan sarung. Keduanya menyebutkan Bachtiar yang berinisiatif melakukan penunjukan langsung dalam proyek-proyek tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki data terkait atasan Gayus Tambunan. Oleh karena itu, mereka berharap agar gelar perkara dalam kasus skandal pajak Gayus dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum tetap dilakukan.
Dengan gelar perkara tersebut diharapkan terjadi pembagian peranan antarpenegak hukum untuk mengusut tuntas perkara ini.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menghukum mantan Kepala Divisi Akuntansi Bank Jabar Hery Ahmad Buchori dengan penjara dua tahun enam bulan. Terdakwa juga diwajibkan membayar denda senilai Rp 75 juta subsider tiga bulan kurungan.
Hery dinilai bersalah turut serta menyuap pegawai pajak guna mengurangi pembayaran pajak terutang Bank Jabar tahun 2001 dan 2002. ”Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,” kata ketua majelis hakim Pengadilan Tipikor Tjokorda Rae Suamba, Senin (29/11) di Pengadilan Tipikor.
Cepat! Itu kata yang tepat untuk menggambarkan proses pengisian jabatan Jaksa Agung, yang sudah ditinggalkan Hendarman Supandji sejak 24 September lalu. Basrief Arief berkantor kembali di gedung Kejaksaan Agung, 26 November lalu, yang sesungguhnya sudah lebih dari tiga tahun ditinggalkannya.
Penegak hukum, baik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dinilai masih melakukan tebang pilih dalam menangani kasus hukum. Aparat penegak hukum dinilai amat antusias menangani dugaan mafia pajak yang melibatkan terdakwa Gayus HP Tambunan.
Tidak akan kompromi untuk hal-hal yang menyangkut penegakan hukum. Itulah janji Busyro Muqoddas, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi yang kemarin terpilih di DPR. Bisakah Busyro membuktikan janjinya tersebut dalam waktu setahun ke depan?
Busyro kecil dikenal sebagai seorang pemberani. Ia suka berkelahi dengan teman-teman sekolah yang dianggapnya sewenang-wenang dan mau menang sendiri. Karena ulahnya itu, orangtuanya harus memindahkan Busyro ke sekolah lain. Namun, hal itu tidak menghentikan aksinya tersebut.
Sosok mirip Gayus Tambunan yang sempat ditangkap kamera dalam pertandingan tenis Commonwealth Tournament of Champions 2010 di Kuta, Bali—dan kemudian diakui sendiri oleh Gayus sebagai dirinya—menyentak kesadaran publik kembali atas karut-marutnya hukum di Indonesia.
Sulit untuk menyangkal jika Gayus tidak berkeliaran di luar penjara Brimob, Kelapa Dua, Depok, karena semua bukti sudah tidak bisa dibantah lagi.
Tradisi pemerintah untuk membiarkan beberapa jabatan publik kosong, atau tak terisi sesuai jadwal atau sesuai undang-undang, adalah kebiasaan buruk yang harus segera diakhiri. Kebiasaan itu juga bisa mengganggu jalannya fungsi pemerintahan dan menimbulkan ketidakpastian.
Kebiasaan itu muncul karena buruknya sistem administrasi negara dan terlalu mudahnya Presiden dipengaruhi opini publik. Selain itu, Presiden dinilai acap kali ragu dalam mengambil keputusan, terutama apabila ada kepentingan politis yang berada di belakangnya.
Ketua Komisi Yudisial M Busyro Muqoddas terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi melalui voting di Komisi III DPR di Jakarta, Kamis (25/11). DPR juga memutuskan Busyro menjabat hanya setahun.
Namun, DPR diminta mempertimbangkan masa jabatan pimpinan KPK pengganti selama empat tahun. Selain pertimbangan biaya perekrutan yang mahal, secara hukum juga tak ada hambatan. ”Tidak seimbang antara energi dan biaya jika masa jabatan hanya setahun,” kata Ketua Dewan Pertimbangan Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid.