Hentikan Tradisi Buruk

Tradisi pemerintah untuk membiarkan beberapa jabatan publik kosong, atau tak terisi sesuai jadwal atau sesuai undang-undang, adalah kebiasaan buruk yang harus segera diakhiri. Kebiasaan itu juga bisa mengganggu jalannya fungsi pemerintahan dan menimbulkan ketidakpastian.

Kebiasaan itu muncul karena buruknya sistem administrasi negara dan terlalu mudahnya Presiden dipengaruhi opini publik. Selain itu, Presiden dinilai acap kali ragu dalam mengambil keputusan, terutama apabila ada kepentingan politis yang berada di belakangnya.

Demikian rangkuman pendapat dari pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenal Arifin Mochtar, serta dua ahli Hukum Tata Negara Irmanputra Sidin dan Saldi Isra, secara terpisah, Sabtu (27/11) di Jakarta.

Irman menjelaskan, pemerintahan kini dikelola dengan tidak percaya diri. Padahal, modal politik dan konstitusional yang dimiliki Presiden Susilo Bambang Yudhoyono amat besar. Dukungan di DPR dari partai politik anggota koalisi juga besar.

”Sayang, Presiden kurang percaya diri dan memilih selalu mengakomodasi kepentingan politik. Ini bukan sistemnya yang salah. Sistem kita sudah benar. Sistem Presidensial kita sudah kuat,” ujarnya. Irman berharap Presiden bisa mengelola sistem yang sudah benar ini.

Presiden tersandera oleh kepentingan politik, kata Irman, tampak dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia (BI), Jaksa Agung, dan juga Kepala Polri.

Saldi berpandangan, Presiden diombang-ambingkan opini yang berkembang. Hal itu tampak jelas dalam pemilihan Jaksa Agung. Awalnya, Presiden mengungkapkan, tak ada persoalan dengan Jaksa Agung dari luar institusi Kejaksaan ketika publik mendesakkan nama orang luar. Namun, keinginan publik itu direspons ribuan jaksa, yang menolak Jaksa Agung dari nonkarier. Akhirnya, Presiden menunjuk orang dalam juga, meski sudah pensiun.

Sekretariat negara

Zaenal Arifin mengungkapkan, tak dapat membayangkan bagaimana mungkin seleksi Komisi Yudisial (KY) dapat terlewat dari jadwal. Akibatnya, Presiden harus menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Perpanjangan Masa Jabatan bagi Komisioner KY periode 2005-2010 yang seharusnya berakhir Agustus lalu.

”Sistem warning-nya tak nyala di Presiden. Semua seperti terlupa. Selain itu, kita juga pernah menyaksikan batalnya pelantikan wakil menteri. Sekretariat Negara bermasalah dalam hal administrasi,” ujarnya.

Irman menambahkan, Setneg harus diperbaiki. Posisi Setneg saat ini tidak lagi sesuai dengan Konstitusi. Sebelum perubahan UUD 1945, pusat kekuasaan berada di tangan presiden sehingga semua urusan administrasi negara berpusat di Setneg. Namun, pasca-amandemen, Setneg harus menyerahkan sebagian urusan yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif) ke Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK), serta kekuasaan legislatif ke DPR.

”Mereka kan punya Sekretaris Jenderal. Serahkan saja sehingga beban Setneg tidak terlampau besar. Untuk Presiden, cukup Sekretaris Pemerintahan saja,” kata dia.

Sebaliknya, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif menilai, kecenderungan pemerintah ”menggantung” sejumlah jabatan strategis di birokrasi mencerminkan kombinasi antara lemahnya administrasi perencanaan, melalaikan prinsip pemerintahan yang akuntabel, serta usaha mengulur waktu untuk keperluan deal politik, demi menutupi kelemahan pemerintah.

”Persoalan ini serius sekali. Penjlimetan prosedur demokrasi yang tak dibarengi prinsip good and clean governance akan mengakibatkan situasi disorder, dan ketidakjelasan otoritas,” ujar Yudi Latif. (ana/why)
Sumber: Kompas, 29 November 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan