Pengisian Jabatan Masih Terabaikan
Cepat! Itu kata yang tepat untuk menggambarkan proses pengisian jabatan Jaksa Agung, yang sudah ditinggalkan Hendarman Supandji sejak 24 September lalu. Basrief Arief berkantor kembali di gedung Kejaksaan Agung, 26 November lalu, yang sesungguhnya sudah lebih dari tiga tahun ditinggalkannya.
Jabatan Jaksa Agung sempat kosong, atau hanya dijalankan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung Dharmono, tak kurang dari 63 hari. Pengisian jabatan itu tergolong cepat, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena ada beberapa jabatan publik yang dibiarkan tak terisi lebih dari empat bulan.
Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu I, tahun 2004-2009, misalnya, jabatan Menteri Dalam Negeri yang ditinggalkan Moh Ma’ruf karena sakit baru terisi setelah 148 hari. Ma’ruf tak menjabat lagi pada 30 Maret 2007. Mardiyanto dipastikan menggantikannya pada 28 Agustus 2007.
Jabatan Gubernur Bank Indonesia yang ditinggalkan Boediono sejak 16 Mei 2009 baru terisi setelah lebih dari 473 hari. Darmin Nasution dilantik menjadi Gubernur BI pada 1 September 2010.
”Pengisian jabatan Jaksa Agung memang tergolong cepat,” kata J Kristiadi, peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Minggu (28/11) di Jakarta. Kecepatan itu terasa jika dibandingkan dengan pengisian jabatan publik lainnya pada era pemerintahan Yudhoyono. ”Kondisi itu terjadi karena untuk jabatan Jaksa Agung tekanan publik cukup besar,” imbuh Kristiadi lagi.
Kondisi berbeda untuk jabatan publik yang tidak terlalu disorot masyarakat, seperti anggota Komisi Kejaksaan, Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Yudisial, yang meskipun sudah lewat waktu belum terisi juga sampai saat ini. Seleksi anggota Komisi Yudisial sempat terbengkalai karena dana untuk seleksi sempat tak teranggarkan.
Bahkan, anggota Komisi Ombudsman Nasional dan Komisi Hukum Nasional sudah menjabat lebih dari lima tahun. Keanggotaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) periode 2007-2012 tak sesuai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sampai sekarang belum terlihat ada upaya penambahan.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar, serta ahli hukum tata negara Irmanputra Sidin dan Saldi Isra, secara terpisah, Sabtu, menilai kebiasaan pemerintah membiarkan beberapa jabatan publik kosong, lewat waktu, atau tak sesuai dengan UU adalah kebiasaan buruk yang harus segera diakhiri. Kebiasaan itu dapat mengganggu jalannya fungsi pemerintahan dan menimbulkan ketidakpastian. Kebiasaan itu muncul karena buruknya sistem administrasi negara.
Selain terkendala di eksekutif, kekosongan jabatan publik juga terjadi karena lambatnya proses di DPR. Dalam pemilihan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pengganti Antasari Azhar dan unsur pimpinan KY, pemerintah sudah menyerahkan ke DPR. Namun, Dewan sampai kini belum memproses 14 nama calon pemimpin KY yang sudah dipilih pemerintah sejak 23 September lalu. Pemimpin KPK pun diseleksi DPR setelah lebih dari sebulan dari saat penyerahan nama calon oleh pemerintah.
Politik transaksional
Secara terpisah, Yunarto Wijaya dari Charta Politica menilai praktik politik transaksional menyebabkan pengisian sejumlah jabatan publik di Indonesia menjadi lama. Politik transaksional itu juga membuat kompromi dan bukan kualitas yang menjadi dasar utama dalam pemilihan pejabat publik.
”Terpilihnya Busyro Muqoddas sebagai Ketua KPK dan Basrief Arief sebagai Jaksa Agung di hari yang sama bukan sebuah kebetulan. Kejadian itu adalah hasil pertautan berbagai kepentingan yang telah dipikir secara sistemik oleh pemerintah dan kekuatan politik di DPR,” katanya.
Senada, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ganjar Pranowo menilai kecenderungan pemerintah membiarkan jabatan publik dan strategis lowong, atau malah melebihi batas waktu masa jabatannya, menunjukkan buruknya manajemen perencanaan birokrasi pemerintah. Di balik kecenderungan itu, ditengarai ada tarik ulur kepentingan politis yang justru merugikan publik ataupun birokrasi itu sendiri. ”Ada dua kemungkinan, yakni tidak sigapnya birokrasi dan tarik ulur kepentingan politik karena harus ada akomodasi koalisi,” kata Ganjar lagi.
Menurut Yunarto, seorang pejabat publik baru dapat diumumkan dan dikeluarkan ke masyarakat setelah ada kesepakatan di antara kekuatan politik. Proses membuat kesepakatan itu yang sering kali lama karena masing-masing berusaha mengamankan posisi politiknya.
Karena yang dipakai memilih pejabat publik adalah kepentingan politik, lanjut Yunarto, pejabat yang terpilih sering kali tak sesuai dengan harapan masyarakat. ”Proses yang tidak on schedule akan berdampak pada sistem yang ada. Terulangnya proses ini menunjukkan buruknya kapasitas, sensitivitas, dan komitmen pemimpin,” kata Ganjar.
Menurut Ganjar, perbaikan regulasi birokrasi pemerintahan menjadi opsi tak terhindarkan untuk mengatasi persoalan itu. ”Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan perlu dipercepat,” katanya.
Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif mengingatkan, kecenderungan pemerintah dan DPR menggantung pengisian sejumlah jabatan publik itu dapat berdampak buruk. Hal itu akan merangsang penyuapan, korupsi, dan anarki sosial. Lebih dari itu, proyek reformasi yang ingin memperjuangkan pemerintahan yang baik dan bersih dengan sendirinya terkubur.
Namun, Ketua Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Denny Kailimang menuturkan, lamanya pengisian jabatan publik, seperti Jaksa Agung, karena banyak pertimbangan yang dipakai. ”Untuk Jaksa Agung, harus dipikir dengan matang. Hal ini untuk jangka panjang.”
Namun, ia mengakui, sebenarnya penting untuk memastikan pemilihan pejabat publik itu tak melebihi waktu yang ditetapkan. (WHY/NWO/ANA/TRA)
Sumber: Kompas, 29 November 2010