Selama ini masyarakat dibuat resah dan frustrasi oleh apa yang bernama mafia peradilan. Hampir semua orang, terutama yang terlibat dalam proses peradilan, merasakan keberadaan lingkaran mafia itu. Mulai kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, yang namanya mafia peradilan sudah hampir menjadi penguasa utama ketimbang proses peradilan itu sendiri. Di tengah hegemoni mafia ini, terasa seperti lelucon memburu keadilan di lembaga peradilan tanpa membawa modal untuk menyelesaikan transaksi kotor. Ironis memang, tapi begitulah kenyataannya
Pembebasan pelapor ini diperlukan agar tercipta transparansi, menimbulkan rasa saling curiga di antara koruptor, dan menghalangi penyuapan.
Kasus: Kasus technical assistance contract (TAC) Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas (UPG) berawal dari kerja sama antara keduanya untuk mengoperasikan ladang minyak Bunyu, Prabumulih, Pendopo, dan Jatibarang. TAC ditandatangani pada 2003 semasa Ginandjar menjabat Mentamben. Kerja sama itu belakangan dinyatakan gagal karena PT UPG dinilai tidak bisa memenuhi target produksi seperti yang tertuang dalam kontrak.
Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memastikan ada tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi PT Jamsostek yang diduga merugikan negara Rp 250 miliar.
Amat sistemik dan membudayanya korupsi di lingkungan peradilan sangat terbaca dari peristiwa dugaan penyuapan hakim-hakim agung yang melibatkan pengusaha Probosutedjo.
Kasus suap yang menyelimuti Mahkamah Agung (MA) menjadi bukti runtuhnya puncak gunung peradilan di Tanah Air. Apalagi menyeret nama besar seperti Ketua MA Bagir Manan dan dua hakim agung, Parman Suparman dan Usman Karim. Memang belum ada bukti keterlibatan mereka.
MAFIA pengadilan, sejak puluhan tahun memang sudah menjadi rahasia umum, ada tetapi tidak nyata. Tetapi belakangan ini, selaras dengan 'angin keterbukaan' yang semakin kencang bertiup di Tanah Air.