Probosutedjo, Pendekar atau Penyuap?

MAFIA pengadilan, sejak puluhan tahun memang sudah menjadi rahasia umum, ada tetapi tidak nyata. Tetapi belakangan ini, selaras dengan 'angin keterbukaan' yang semakin kencang bertiup di Tanah Air.

Maka juga semakin banyak terungkap transaksi suap yang melibatkan aparat yang bekerja dalam proses pengadilan, mulai di tingkat penyelidikan hingga ke tingkat putusan, melibatkan sosok-sosok polisi, jaksa, panitera, advokat dan hakim di sejumlah pengadilan, termasuk sosok hakim agung.

Contohnya kasus Hakim Agung Yahya Harahap dan kawan-kawan yang terungkap berkat pengaduan saksi korban, Ending. Kasus ini sempat mencuat, tetapi kemudian masyarakat kecewa dengan putusan yang membebaskan mereka.

Ternyata babakan cerita tentang 'mafia pengadilan', bukannya semakin melemah, sebaliknya semakin 'dahsyat' dengan babakan paling baru, disebut-sebutnya sang Ketua Mahkamah Agung sendiri, Bagir Manan sebagai 'penerima suap' sejumlah Rp5 miliar dalam perkara tingkat kasasi Probosutedjo, adik tiri mantan Presiden Soeharto.

Wallahu a'lam. Konon yang membongkar kasus dugaan suap yang menyebut-nyebut keterlibatan ketua lembaga tinggi negara itu adalah Probosutedjo sendiri, yang melapor ke KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Probosutedjo mengaku sudah habis tidak kurang Rp16 miliar untuk menyuap sejak tahap pengadilan tingkat pertama hingga sekarang.

Ada dua pertanyaan penting di sini. Pertama, mampukah KPK menuntaskan dugaan suap ini tanpa diskriminasi? Kedua, bagaimana status Probosutedjo, sebagai pelaku suap atau sebagai saksi korban yang menjadi saksi pelapor?

Apa boleh buat, terus terang sebagian masyarakat, mulai meragukan komitmen dan kredibilitas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), setelah menyaksikan sendiri betapa payahnya dan diskriminatifnya KPK untuk mengungkap kasus dugaan korupsi di KPU secara tuntas.

Fenomena KPK yang tampak sekarang, bahwa KPK sudah kembali 'menyanyikan lagu aku masih seperti yang dulu', dalam arti, KPK sudah mulai mengikuti gaya konvensional institusi penegakan hukum di Indonesia, yaitu kembali sangat legalistik-normatif, dan lebih parah lagi KPK sama sekali tidak punya komitmen untuk menggunakan kewenangan dahsyatnya secara memadai.

Padahal, KPK dibentuk melalui proses panjang dan mahal, setelah terbentuknya pun meraup biaya yang mahal yang semuanya berasal dari dana rakyat, tetapi setelah terbentuk, hanya sekali dan awal saja membahagiakan rakyat, yaitu dalam kasus Abdullah Puteh, selebihnya kembali mengecewakan. Dalam kasus KPU sangat tampak KPK menggunakan standar ganda dan 'keadilan sarang laba-laba' yang hanya menjerat 'serangga-serangga kecil yang namanya Hamdani dan cs staf lain', serta menjadikan sekadar 'kambing hitam penanggung jawab' sang Ketua KPU, Nazaruddin Sjamsuddin. Selebihnya, anggota KPU lain terkesan 'terlindungi', entah oleh KPK sendiri, entah oleh suatu 'kekuatan lain' di luar KPK .

Berangkat dari komitmen seperempat hati KPK dalam pengusutan kasus dugaan korupsi di KPU, maka apa boleh buat, menurut pendapat dan prediksi saya, kasus dugaan suap dalam perkara tingkat kasasi Probosutedjo, juga akan bernasib sama dengan kasus KPU. Akan ada tindakan-tindakan pelemahan, dan bukannya penguatan komitmen pemberantasan korupsi. Tidak percaya! Disilakan wait and see!

Sama payahnya dengan Komisi Judisial, alih-alih serius mengusut dugaan suap yang konon melibatkan para hakim agung itu, malah menyarankan kepada Ketua MA untuk mengadukan ke polisi sebagai tindakan pencemaran nama baik dan fitnah kepada mantan staf MA yang memberikan kesaksian tentang penyuapan itu. Terlepas dari benar tidaknya penyuapan, mestinya Komisi Judisial tidak menempatkan diri sebagai 'pengacara'.

Meskipun saya akui Presiden SBY sangat serius berharap agar korupsi dapat diberantas, tetapi selain kinerja Jaksa Agung yang lemah dalam pemberantasan korupsi, maka yang lebih membuat saya sangat khawatir, jangan-jangan apa yang dilakukan KPK sekarang ini, mirip dengan apa yang dilakukan Soeharto di masa berkuasanya.

***

Dalam buku karya RE Elson, Soeharto, Sebuah Biografi Politik, mengungkap banyak hal yang baru tentang Soeharto dan pemerintahannya. Menurut Elson, sikap Soeharto terhadap korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni dan keluarganya ketika itu (hlm 373) adalah hanya sekadar bermain-main seolah-olah ingin memberantas korupsi, tetapi ''...dimaksudkan bukan untuk menyelesaikan masalah korupsi itu sendiri, melainkan lebih merupakan upaya untuk meredam kerugian politik yang diakibatkan oleh pembeberan-pembeberan korupsi tingkat tinggi tersebut.''

Fenomena ini sangat cocok dengan apa yang pernah dikemukakan oleh pakar tentang korupsi dari Malaysia, SH Alatas, bahwa di negara-negara berkembang, undang-undang dan lembaga antikorupsi dibuat sekadar untuk melindungi para koruptor, yaitu mempersulit pembuktian terjadinya korupsi.

Apakah KPK berwenang memeriksa seorang Ketua Mahkamah Agung dan Hakim Agung? Jawabannya 'Berwenang penuh!' Berdasarkan UU No 30/2002 Pasal 11 yang menentukan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan pasal 12 undang-undang tersebut, KPK juga berwenang memerintahkan pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya.

Andai KPK memang serius mengusut tuntas dugaan suap yang menyebut-nyebut keterlibatan sang Ketua Mahkamah Agung, bagaimana status Probosutedjo khusus dalam kasus dugaan suap itu? Pilihan status Probosutedjo itu, menurut saya, sepenuhnya tergantung pada penilaian KPK.

Pertama sekali harus diselidiki, apakah Probosutedjo sebagai pelaku penyuapan yang terpaksa dalam keadaan terpojok melapor sekadar dengan niat sekadar demi kepentingan dirinya sendiri, atau karena memang berniat untuk membantu KPK mengungkap praktik 'mafia pengadilan' yang sudah berakar di tubuh institusi penegakan hukum tertinggi di Republik ini?

Jika KPK menilai yang pertama yang terjadi, tentunya status Probosutedjo akan bertambah, dari terpidana kasus korupsi menjadi juga tersangka kasus penyuapan; sebaliknya jika KPK berkesimpulan yang kedua yang terjadi, status Probosutedjo menjadi 'pendekar pemberantas mafia pengadilan', yang tidak mustahil oleh KPK diberi perlindungan sebagai saksi pelapor dalam kasus dugaan suap, tetapi tidak bisa memengaruhi perkara korupsinya di tingkat kasasi.

Namun demikian, saya berpendapat laporan Probosutedjo ke KPK lebih memenuhi yang pertama. Alasan Probosutedjo kenapa tidak dari dulu ia melapor karena belum ada KPK waktu itu, adalah tidak dapat diterima, karena waktu itu pun ia dapat membeberkan ke publik lewat media massa.

Apa pun status Probosutedjo, yang lebih penting lagi bagi bangsa ini, bagaimana agar seluruh institusi penegakan hukum termasuk juga KPK dan Tipikor, dapat terbebas dari praktik

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan