Penegak Hukum Bukan Superbody

Amat sistemik dan membudayanya korupsi di lingkungan peradilan sangat terbaca dari peristiwa dugaan penyuapan hakim-hakim agung yang melibatkan pengusaha Probosutedjo.

Bukan saja yang hendak disuap ialah hakim agung yang memiliki kompetensi memutuskan perkara, bahkan penyuapnya pun mantan hakim. Bahkan, kalau pernyataan Probosutedjo benar bahwa para pengacaranya sudah melakukan praktik penyuapan sejak proses di pengadilan negeri, maka dalam tim pengacara itu terdapat pula mantan jaksa agungnya.

Kalau pakai bahasa gaul, kenyataan ini bisa dikatakan sebagai jeruk kok minum jeruk. Bayangkan, bila mantan pejabat tinggi hukum, yang kemudian menjadi pengacara, terbiasa melakukan praktik-praktik penyuapan untuk memenangkan kasusnya, bagaimana ketika mereka menjabat dulu?

Entahlah. Namun, sesungguhnya, upaya membongkar praktik korupsi di lingkungan Mahkamah Agung (MA) sudah dimulai sejak Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) mencoba membongkar korupsi yang dilakukan tiga hakim agung beberapa tahun lalu. Sayang, alih-alih pemerintahan saat itu mendukung gebrakan TGPK tersebut, malah tim itu yang kemudian dibubarkan.

Padahal, sebagaimana dikatakan Satjipto Rahardjo, salah satu anggotanya, TGPK bermaksud membuat shock therapy pemberantasan korupsi dengan memerkarakan sampai tuntas tiga hakim agung itu.

Kasus-kasus itu akan dijadikan pintu masuk (entry point) untuk membongkar praktik korupsi di peradilan, yang sudah kronis dan diibaratkan seperti mafia itu. Yakni, sangat rahasia, sistematis di semua sendi peradilan, dan terorganisasi rapi.

Ironisnya, kehendak politik pemerintah saat itu tidak sama dengan kehendak TGPK. Tindakan pemberantasan korupsi hanya sebatas isu politik atau lipstik, guna menampung tuntutan publik, namun di tingkat permukaan saja. Tidak sampai berupa aksi yang melembaga dan konsisten.

Maka, ketika TGPK mendapatkan temuan besar, yang jika diusut tuntas menggoyahkan kredibilitas pemerintahan, maka yang terjadi malah TGPK yang dikorbankan, demi mempertahankan status quo.

Tentu saja, kita tidak ingin pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akan idem ditto dengan pemerintahan Orba. Bila di era Orba korupsi menjadi bagian integral-fungsional untuk mempertahankan sistem pemerintahan, maka pemerintahan SBY mesti sebaliknya. Korupsi adalah unsur yang bersifat kontrasistem dan disfungsional, karena itu mesti dibasmi.

Masih Muda
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKP Tipikor) mengindikasikan kesungguhan pemerintahan untuk memberantas korupsi. Namun, usia dua lembaga itu masih sangat muda dan belum teruji betul.

Apalagi, sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini diwarnai dengan berdiri dan bubarnya banyak lembaga pemberantasan korupsi. Mulai pembentukan Komisi Empat di zaman Orde Lama yang dipimpin proklamator Mohamad Hatta sampai TGPK di era reformasi. Semua tak memberikan hasil untuk menjadikan pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Alhasil, warisan dari praktik pemerintahan yang korup terus ada hingga hari ini, bahkan konon malah lebih parah. Karena itu, sebaiknya kiprah KPK dan TKP Tipikor tidak hanya lipstik. Maka, agar publik lebih yakin dan citra yang terbentuk selama ini tidak pudar, kasus penyuapan di MA yang saat ini ditangani KPK mesti menjadi pintu masuk untuk membongkar semua korupsi di lingkungan peradilan, polisi, dan kejaksaan.

Apalagi, KPK dan Polri saat ini juga tengah menyidik kasus dana miliaran rupiah di rekening beberapa perwira polisi. Akan lebih lengkap bila dalam waktu dekat KPK bisa pula menemukan praktik korupsi di lingkungan kejaksaan.

Selama ini, sekalipun sudah banyak diketahui ada mafia peradilan, pengungkapan kasusnya sampai ke pengadilan sangatlah minim. Lembaga-lembaga penegak hukum seperti sudah menjelma menjadi superbody dan imun dari sentuhan penegakan hukum di dalam badannya sendiri.

Sebagian besar kasus berhenti pada tindakan administratif internal atau menguap begitu saja tak jelas akhirnya karena dilatari semangat korps (spirite de corps) untuk melindungi kredibilitas lembaganya.

Padahal, bila upaya pemberantasan korupsi ingin berjalan efektif, sasaran utama dan pertama yang harus dibersihkan dulu adalah lembaga-lembaga penegak hukumnya. Tindakan itulah yang dilakukan komisi antikorupsi Hongkong sehingga hasilnya sangat efektif.

Mengapa? Sebab, lembaga-lembaga itulah yang akan menegakkan hukum dan menjadi tumpuan penegakan keadilan. Kalau lembaga penegaknya sendiri loyo dan korup, bagaimana hukum dan keadilan akan bisa tertegakkan?

Perilaku Aparat
Sebuah penelitian sosiolog hukum Universitas Indonesia Soerjono Soekanto (almarhum) menemukan fakta bahwa dalam masyarakat paternalistik seperti Indonesia ini, tingkat ketaatan hukum masyarakat sangat bergantung kepada perilaku aparat hukumnya.

Dengan begitu, kalau aparat hukumnya korup, jangan salahkan bila masyarakatnya juga korup. Masyarakat itu bisa ada di kantor-kantor pemerintahan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, perguruan-perguruan tinggi, dan di jalanan. And justice for all.

* Prija Djatmika, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 17 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan