Pelapor Korupsi Diusulkan Bebas

Pembebasan pelapor ini diperlukan agar tercipta transparansi, menimbulkan rasa saling curiga di antara koruptor, dan menghalangi penyuapan.

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki kemarin menyatakan, pihaknya sedang mengupayakan agar setiap penyuap yang melaporkan tindakannya ke KPK bisa dibebaskan dari segala tuduhan tindak pidana korupsi.

Berbicara dalam diskusi Penyimpangan Etika Profesi Sebagai Jalan Masuk Praktek Pengadilan Korup yang diselenggarakan Judicial Watch Indonesia di Jakarta kemarin, Ruki mengatakan bahwa pembebasan pelapor ini diperlukan agar tercipta transparansi, menimbulkan rasa saling curiga di antara koruptor, dan menghalangi penyuapan.

Ruki membantah ia mengatakan hal ini terkait dengan kasus Probosutedjo, yang melaporkan dugaan penyuapan hakim kepada KPK.

Menurut Ruki, saat ini di Indonesia belum ada undang-undang yang menjamin pelapor dibebaskan dari semua tuntutan, seperti Whistleblower Act di Amerika Serikat atau Public Interest Disclosure Act 1998 di Inggris. Untuk itu, Ruki mengusulkan revisi undang-udang yang ada. Sekarang sedang ada pembahasan Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Kami memasukkan wacana itu untuk tim perumus undang-undang, kata Ruki.

Ahli pidana Universitas Indonesia, Rudi Satria, mengatakan, yang perlu dilakukan untuk memenuhi keinginan KPK sebenarnya hanya meratifikasi konvensi antikorupsi internasional PBB. Dengan mengacu pada konvensi antikorupsi itu, seharusnya tidak perlu mengubah undang-undang tapi cukup meratifikasinya, ujarnya kepada Tempo tadi malam.

Rudi menuturkan, dalam konvensi itu termuat peringanan atau bahkan pembebasan seorang tersangka pelaku tindak pidana apabila dia mempunyai kontribusi dalam mengungkapkan penyimpangan yang lebih besar.

Menurut Rudi, Indonesia sudah melakukan pembahasan untuk meratifikasi konvensi tersebut dan telah menyerahkan hasilnya ke Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Bila memang hendak diratifikasi, BPHN akan menyerahkannya ke Departemen Luar Negeri untuk kemudian diajukan ke DPR, katanya.

Sambil menunggu ratifikasi tersebut, Rudi mengatakan, Jaksa Agung bisa saja menggunakan hak opurtunitas untuk menggugurkan tuntutan guna melindungi atau membebaskan saksi. Boleh-boleh saja, kalau dia (Jaksa Agung) ingin menggunakan hal itu untuk kepentingan umum, ujarnya. THOSO PRIHARNOWO | RISKA S HANDAYANI

Koran Tempo, 18 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan