Pengesahan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung pada Kamis (18/12) malam agaknya memang mempertegas adanya politik transaksional di Dewan Perwakilan Rakyat. Di sinilah kewenangan legislasi ”dijual” untuk kepentingan sekelompok orang. Di titik tertentu dapat berwujud pengkhianatan konstitusional terselubung.

Urip Tri Gunawan dijatuhi hukuman disiplin berat pemberhentian tak hormat sebagai pegawai negeri sipil. Dengan demikian, karier Urip sebagai jaksa berakhir pula. Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, yang adalah atasan Urip, dihukum disiplin ringan, pernyataan tidak puas secara tertulis dari pimpinannya.
Sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi selama kurun waktu sejak kelahirannya telah membawa kerisauan dari berbagai pihak. Kegelisahan itu ditunjukkan dengan berbagai reaksi yang mengarah pada pemandulan hingga yang paling ekstrem: pembubaran eksistensi KPK. Tujuan dibentuknya KPK memang dimaksudkan untuk memberantas korupsi secara lebih efektif, efisien, dan independen, dengan melihat sejarah penegakan hukum oleh aparat konvensional yang identik dengan kegagalan. Harapannya, dengan menggunakan instrumen baru berupa lembaga pemberantas korupsi yang lebih kuat wewenangnya dan independen dari kekuatan politik mana pun, KPK dapat mengatasi hambatan hukum dan politik dalam pemberantasan korupsi.
Bulan Desember ini adalah saat-saat terakhir bagi masyarakat untuk memanfaatkan kebijakan Sunset Policy. Melalui Sunset Policy, masyarakat dan unit usaha yang memiliki penghasilan kena pajak wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Direktorat Jenderal Pajak juga memberikan insentif kepada pemilik NPWP, yakni tidak akan diperiksa, dan bagi masyarakat yang bepergian ke luar negeri tidak lagi diwajibkan membayar fiskal.
Sudah menjadi pengetahuan umum, sejak Pemilu 1999 terjadi pergeseran korupsi pemilu, dari manipulasi pemilihan yang menonjol pada masa Orde Baru ke mobilisasi pemilih lewat politik uang seiring perubahan sistem dan penyelenggaraan pemilu.
Meski menimbulkan polemik di tengah masyarakat, melalui rapat paripurna pada 18 Desember 2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) menjadi undang-undang.
Pernyataan Pers
Sidang Paripurna Kamis malam (18/12) di Nusantara II-DPR, telah menjadi antiklimaks upaya menyelamatkan Mahkamah Agung (MA) dari jerat kepentingan politik dan kepentingan mempertahankan elit status quo. Hanya dengan 90-an anggota DPR yang hadir, penolakan secara resmi dari Fraksi PDIP, dan interupsi berbagai Fraksi, Pimpinan Sidang tetap memaksakan pengesahan UU MA. Disinilah publik melihat, Institusi Kekuasaan Kehakiman dikooptasi oleh kepentingan politik.
Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia merupakan salah satu usaha layanan konsumen yang sangat besar. Dengan jumlah jamaah lebih dari 200.000 orang (berdasarkan kuota 1/1000 penduduk muslim suatu negara) omset "bisnis" haji bisa mencapai Rp. 7 triliun setiap tahun. Belum ditambah dana yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pengesahan RUU MA
INDEPEDENSI PERADILAN TERANCAM, MAHKAMAH AGUNG TIADA HARAPAN
Hari ini 18 Desember 2008, meski banyak ditentang dan menimbulkan perdebatan berbagai kalangan, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) menjadi Undang-Undang. Salah satu ketentuan yang kontroversial adalah mengenai batas usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun. Pertimbangannya, hakim agung pada usia 70 tahun masih fungsional atau semakin tua semakin bijaksana.