Korupsi Dana BI; Komisi IX DPR Periode 1999-2004 Terima Uang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 terbukti menerima uang senilai Rp 28,5 miliar dari Bank Indonesia.
Terkait dengan hal itu, Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta kepada Anthony Zeidra Abidin, mantan Ketua Sub-Komisi Perbankan Komisi IX DPR, serta 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta kepada Hamka Yamdu, mantan Ketua Sub-Komisi Keuangan.
Uang itu diserahkan mantan Kepala Biro Hukum BI Rusli Simandjuntak dan Asnar Anshary secara bertahap kepada Anthony dan Hamka. Mereka membagikan uang itu melalui kelompok Fraksi Partai Golkar, F-Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, F-Kebangkitan Bangsa, F-Partai Persatuan Pembangunan, F-Partai Amanat Nasional, F-TNI/Polri, F-Partai Bulan Bintang, dan F-Daulatul Ummah.
Putusan itu dibacakan majelis hakim yang dipimpin Masrudin Chaniago, Rabu (7/1).
Dalam kesimpulan majelis hakim, Anthony, Hamka, dan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Anthony dinilai hakim sebagai dader (pelaku), antara lain karena menyediakan tempat untuk penyerahan uang di rumahnya di Jalan Gandaria Tengah, Jakarta. Hamka sebagai orang yang menyaksikan penyerahan uang serta turut menikmati.
Keduanya dinilai terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa bahwa Anthony dan Hamka melanggar dakwaan primer dan subsider, melainkan melanggar dakwaan lebih subsider. Majelis juga tak sependapat dengan jaksa bahwa uang itu dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian politis kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan sosialisasi amandemen UU BI. Pasalnya, tidak ada pembicaraan antara mereka yang terkait dan penyelesaian dua masalah itu.
Yang terjadi hanya serah terima uang yang tidak menggunakan tanda terima. Setelah penyerahan dilakukan, Rusli dan Asnar pulang kembali ke tempat kerja masing-masing.
Apalagi, terungkap dalam persidangan, uang itu tak digunakan untuk sosialisasi amandemen UU BI dan penyelesaian BLBI. Selain itu, terungkap juga, Rusli dan Asnar mengambil Rp 3 miliar dari total Rp 31,5 miliar yang diserahkan dan uang itu tak digunakan untuk sosialisasi.
Menurut majelis hakim, pemberian itu dan apa yang dilakukan tidak dilaporkan Rusli dan Asnar kepada BI.
Majelis hakim tak menjatuhkan hukuman uang pengganti meski jaksa meminta terdakwa masing-masing membayar Rp 10,862 miliar. Menurut majelis, jaksa tidak mencantumkan Pasal 17 UU No 31/1999 yang mengatur hukuman tambahan dalam dakwaannya.
Selain itu, sesuai fakta persidangan, Anthony dan Hamka masing-masing menerima Rp 500 juta dari total Rp 28,5 miliar. Sisa uang itu dibagi-bagikan kepada anggota Komisi IX yang lain.
Dalam memutus perkara itu, majelis hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan, yaitu menurunkan citra dan kredibilitas DPR, mengkhianati amanat rakyat, dan bertentangan dengan program pemerintah yang gencar memberantas korupsi. Hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum, sopan, menyesali perbuatan, dan Anthony memiliki penyakit yang perlu penanganan intensif.
Hamka menerima putusan itu dan berjanji akan membayarkan denda secepatnya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Anthony masih pikir-pikir.
Seusai sidang, Anthony menilai majelis hakim tidak mempertimbangkan dalilnya. Ia tak menerima uang pada 2 Juli 2003 di rumah Jalan Gandaria Tengah, sebab rumah itu belum ditempati.
Kuasa hukum Anthony, Maqdir Ismail, mengaku tidak setuju pada hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya. Seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada Anthony sama dengan Hamka.
Soal tindakan kepada anggota Komisi IX periode 1999-2004 lain, Maqdir menyerahkannya ke KPK. ”Silakan KPK menyelidiki itu. Kita berharap seperti itu supaya ada perlakuan yang fair,” ujarnya. (ana)
Sumber: Kompas, 8 Januari 2009