Editorial Media Indonesia (27/6) mengampanyekan perang melawan korupsi. Digambarkan betapa korupsi menjelma sebagai kejahatan besar dan salah satu penyebab munculnya berbagai penyimpangan sosial dan lemahnya tampilan kolektif Indonesia dalam hampir semua aspek kehidupan, baik kesehatan, pendidikan, ekonomi-kemiskinan, termasuk penegakan hukum.
PADA tahun 1999 di Bangkok, Thailand, dalam The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on The Role of The Prosecutor in The Changing Word, peran kejaksaan di berbagai negara dikelompokkan dalam dua sistem, pertama disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua disebut discretionary prosecutorial system.
Mulyana W Kusuma mengaku pernah mengirim pesan singkat (SMS) ke Anas Urbaningrum untuk meminta bantuan agar anggota KPU itu ikut membantu mencarikan dana untuk menyuap auditor BPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Mabes Polri memberikan tambahan penyidik untuk diperbantukan di KPK.
Sejumlah anggota DPR periode 1999-2004 menerima uang dari Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama sebesar Rp4,4 miliar.
Dua hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menangani banding kasus Abdullah Puteh, yakni Sudiro dan Husaeni Andinkasim, memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tudingan Komisi Darurat Kemanusiaan (KDK) tentang adanya indikasi penyimpangan/penyunata dana pos kesehatan satelit (Poskeslit) dan pemotongan jerih payah para tenaga medis yang bertugas di Poskeslit di Kabupaten Bieuen, tidak berdasar.
Dari berbagai sumber bacaan tentang korupsi, mungkin kita tidak akan mudah melewatkan begitu saja pandangan Wang Ansih, seorang pembaharu besar Cina di zaman lampau, yang mengatakan bahwa
Proyek pengadaan buku keputusan Komisi Pemilihan Umum yang merugikan negara sebesar Rp 17 miliar ternyata melibatkan seorang penghubung (broker) antara perusahaan-perusahaan percetakan yang menjadi rekanan KPU dalam pengadaan buku dan KPU.
Kendati bekerja belum satu tahun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 sudah berteriak minta kenaikan tunjangan. Besarnya pun tidak tanggung-tanggung, dari semula pendapatan mereka Rp 28,3 juta per bulan ingin dinaikkan menjadi Rp 51,8 juta per bulan.