Wajah Kejaksaan di Era Reformasi

PADA tahun 1999 di Bangkok, Thailand, dalam The Asia Crime Prevention Foundation (ACPF) Working Group Meeting on The Role of The Prosecutor in The Changing Word, peran kejaksaan di berbagai negara dikelompokkan dalam dua sistem, pertama disebut mandatory prosecutorial system, dan kedua disebut discretionary prosecutorial system.

Kedua sistem ini menjadi model kejaksaan di belahan dunia terkait kewenangannya di bidang penuntutan dalam perspektif yurisdiksi: (1) kewenangan bidang penuntutan dibarengi kewenangan untuk melakukan penyidikan dan interogasi, (2) kewenangan di bidang penuntutan terbatas hanya untuk menuntut. Dalam konteks penyidikan, ada 3 (tiga) model yang dianut kejaksaan di berbagai negara yaitu:

Pertama, jaksa hanya bertindak selaku penuntut umum, tidak melakukan penyidikan, seperti Thailand, juga dianut kejaksaan di negara China, India, Singapura, Sri Lanka, Papua Nugini, Inggris, dan Filipina. Kedua, jaksa sebagai penuntut umum, juga memiliki peran untuk berpartisipasi dalam penyidikan sebagaimana yang dianut kejaksaan di Amerika Serikat. Ketiga, jaksa tidak saja memiliki kewenangan melakukan penuntutan tetapi juga dapat langsung melakukan penyidikan sendiri seperti yang dianut kejaksaan di negara Korea, Jepang, Swedia, dan juga Belanda, seperti yang dianut kejaksaan RI pada masa HIR masih berlaku.

Kejaksaan RI atau lazim disebut Korps Adhyaksa masuk ke dalam kedua kelompok tersebut, baik mandatory prosecutorial system di dalam penanganan perkara tindak pidana umum, dan discretionary prosecutorial system khusus di dalam penanganan tindak pidana korupsi, mengacu pada pasal 284 ayat 2 KUHAP jo Pasal 26 Undang-Undang No 31/1999 jo Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 44 ayat 4 serta Pasal 50 ayat 1,2,3 dan 4 Undang-Undang No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 30 huruf d Undang-Undang No 16/2004 tentang Kejaksaan RI, sedangkan berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia mengacu kepada Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

Beberapa dekade terakhir, ekspektasi masyarakat yang mencuat ke permukaan terkait dengan kinerja Korps Adhyaksa, hanya berkutat dengan pemberantasan korupsi.

Kriteria ini juga dijadikan acuan masyarakat untuk mengukur keberhasilan figur seorang Jaksa Agung. Keberhasilan seorang Jaksa Agung memimpin Korps Adhyaksa diukur dari sisi keberaniannya di dalam menindak koruptor, walaupun pemberantasan korupsi itu hanya bagian kecil dari upaya penegakan hukum dalam pengertian mikro dan selain itu sebenarnya keberhasilan pemberantasan korupsi tidak dapat dilepaskan dari penanggulangan faktor-faktor lain yang menstimulusnya.

UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan RI tampaknya tidak berbeda jauh dengan UU sebelumnya. Kejaksaan RI masih ditetapkan sebagai lembaga pemerintahan (vide pasal 2 ayat 1), Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden vide pasal 19 ayat 2) serta bertanggung jawab kepada presiden dan DPR (vide pasat 37 ayat 2), meskipun dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU tersebut dilakukan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (vide pasal 2 ayat 1 dan 2 serta penjelasannya dan penegasan ini memang tidak dimuat di dalam UU sebelumnya).

Karakteristik kewenangan ini sejalan dengan penggarisan PBB pada tahun 1990 yang menyetujui Guidelines on The Role of Prosecutor dan Ketetapan International Association of Prosecutors, bahwa menjamin profesi ini tidak boleh diintimidasi, diganggu, atau diintervensi di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Pengaturan yang demikian, mengandung makna dari sudut kedudukan. Kejaksaan adalah bagian dari eksekutif, sedangkan dari sisi kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan menjalankan kekuasaan yudikatif yang bermuara ke Mahkamah Agung sebagai the last corner stone. Kondisi objektif ini tentu saja memunculkan dual obligation, di satu sisi harus berorientasi kepada hukum, di sisi lain sebagai bagian eksekutif harus berorientasi kepada pemerintah.

Tanpa mengabaikan kebijakan pemerintah yang lalu, di era Kabinet Indonesia Bersatu, komitmen pemerintah dalam penegakan hukum nuansanya tampak lebih kental. Kejaksaan bak mendapat durian runtuh, kekhawatiran adanya dual obligation diharapkan pupus menjadi one way obligation, dengan keluarnya berbagai produk-produk hukum pemerintah.

Diawali dengan Instruksi Presiden No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, yang menginstruksikan kepada jajaran kejaksaan agar mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan/penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan jaksa/penuntut umum dalam rangka penegakan hukum serta meningkatkan kerja sama dengan Kepolisian Negara RI, BPKP, PPATK, dan institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

Menyusul kemudian Instruksi Presiden No 4/2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dalam inpres tersebut Presiden meminta kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan serta 11 Menteri terkait, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, para gubernur dan para bupati/wali kota, sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan menindak tegas serta memberi sanksi terhadap oknum petugas yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal.

Khusus kepada Jaksa Agung diinstruksikan melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga melakukan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya, melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana di bidang kehutanan serta mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun tahap eksekusi.

Terakhir Keputusan Presiden No 11/2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kebijakan ini merupakan upaya peningkatan kerja sama dan koordinasi antara Kejaksaan dan Kepolisian Negara RI, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tim yang selanjutnya disebut dengan Timtas Tipikor ini, terdiri dari unsur Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan BPKP, diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, yang melaksanakan tugasnya sesuai dengan tugas fungsi dan wewenangnya masing-masing serta bertanggung jawab langsung kepada presiden. Karena komitmen pemerintah yang kuat di dalam pemberantasan korupsi dan tindak pidana lain.

Timtas Tipikor bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi, mencari dan menangkap para pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi, serta menelusuri dan mengamankan seluruh aset-asetnya dalam rangka pengembalian keuangan negara secara optimal.

Marwan Effendy, Bekerja di Kejaksaan Agung, Jakarta

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 21 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan