Korupsi dan Budaya Hukum
Editorial Media Indonesia (27/6) mengampanyekan perang melawan korupsi. Digambarkan betapa korupsi menjelma sebagai kejahatan besar dan salah satu penyebab munculnya berbagai penyimpangan sosial dan lemahnya tampilan kolektif Indonesia dalam hampir semua aspek kehidupan, baik kesehatan, pendidikan, ekonomi-kemiskinan, termasuk penegakan hukum.
Fenomena social shame ini adalah produk (emergent properties) yang lahir dari sistem dan pola interaksi kolektif kita, yang telah lama mengendap dalam sebuah struktur sosial yang abnormal dan kronis. Dalam hal ini, korupsi merupakan latensi yang dapat muncul terus-menerus dalam sistem sosial kita. Oleh karena itu, tidak heran jika Presiden SBY kerap mengingatkan agar 'terus terjaga' dan tetap meneguhkan komitmen untuk memberantas korupsi ini (Media Indonesia, 8/7). Meski demikian, menabuh genderang perang melawan korupsi tanpa menyelesaikan akar masalah, bisa menjadi sebuah gerakan retorik belaka.
Salah satu hal penting yang perlu dicermati adalah mengapa korupsi menjadi ancaman laten. Bukankah pemerintah sudah memberlakukan begitu banyak produk hukum (substansi hukum) yang berkaitan dengan suap dan korupsi? Sejak reformasi digulirkan, berbagai institusi yang mengawasi pengembanan hukum di Tanah Air dibentuk. Berbagai terapi kejutan dilakukan KPK. Banyak orang berharap, dengan adanya undang-undang (substansi hukum) dan berbagai institusi pelengkap (struktur hukum) yang memberantas suap dan korupsi, persoalan korupsi menjadi selesai. Kenyataannya tidak. Korupsi masih terus bermunculan.
Uraian di atas membuktikan bahwa akar masalah dari kronisnya korupsi di Indonesia bukan terletak pada ketiadaan aturan, undang-undang, dan lemahnya struktur hukum, tetapi lebih disebabkan masih lemahnya budaya hukum, mengacu pada kesadaran hukum masyarakat (Friedmann, 1970), yang menjadi basis dalam pembentukan struktur sosial. Dalam mendorong perubahan sosial dan reformasi hukum, Friedman (1985 dan 1990) meletakkan kepercayaan yang lebih besar pada pentingnya kultur hukum eksternal (eksistensi, peran, pendapat, kepentingan, dan tekanan yang dilakukan kelompok sosial lain yang lebih luas), daripada kultur hukum internal (ide-ide dan praktik yang dilakukan para pengemban profesional-hukum) dalam menggalang tuntutan publik bagi penciptaan keadilan yang menyeluruh (total justice). Yang menjadi persoalan saat ini adalah belum terbentuknya kultur hukum eksternal--termasuk internal--yang dianggap dapat memperbaiki kualitas pengembanan hukum (rechsboefening) nasional. Akibatnya, berbagai kasus korupsi ini terus terjadi berulang-ulang dari waktu ke waktu.
***
Sesungguhnya, munculnya berbagai kasus suap dan korupsi merupakan gejala atau elemen kebaruan (emergent properties) yang lahir dari struktur sosial yang terbentuk dari pola interaksi kita. Anehnya, selama ini, reaksi kolektif kita, lebih banyak ditujukan untuk menghilangkan gejala tersebut, tanpa menyadari adanya struktur penyebab (root cause) yang juga harusnya diuapkan (Goldrat, 1988, 1990). Energi kita lebih banyak difokuskan untuk membuat aturan dan undang-undang baru, menangkap dan menghukum para koruptor, tanpa memberi ruang yang memadai bagi perbaikan dan penyiapan kultur hukum (sebagai struktur) yang lebih kuat dan baik. Seharusnya, semangat dan komitmen untuk menangkap dan menghukum para koruptor diikuti segera dengan perbaikan kultur hukum yang baik. Kegagalan dalam hal ini hanya menjadikan negeri kita sebagai medium inkubasi bagi korupsi dan penyimpangan sosial lainnya dengan wajah dan cara (modus operandi) yang berbeda dan lebih kompleks.
Eksistensi dan peran struktur ini akan lebih mudah dipahami jika kita menggunakan pendekatan berpikir sistem yang memperkenalkan prinsip sirkularitas. Prinsip ini meletakkan asumsi dasar bahwa struktur memengaruhi perilaku, dan perilaku (individu dan masyarakat) meresponsnya dengan melahirkan elemen kebaruan, yang pada gilirannya akan memperkuat struktur yang sudah ada sebelumnya (Maturana, 2001 dalam Blank-Ons, 2003). Bagi individu dan masyarakat yang gagal atau tidak mampu belajar (learning dissability), pengaruh buruk itu akan direspons sekenanya (menjadi respons yang buruk).
Selanjutnya, respons yang buruk ini akan menjadi materi asupan (intake) bagi penguatan (reinforcing feedback loop) struktur yang sudah buruk sebelumnya. Proses demikian akan terjadi secara berulang-ulang dan sirkuler. Jika kondisi demikian tidak diubah, ia dapat melemahkan dan bahkan menghentikan sistem sosial kita.
Deskripsi di atas memperlihatkan pentingnya peran receiver (individu dan masyarakat) dalam menentukan makna katalis (eksistensi substansi dan kinerja struktur hukum) dan pengapresiasiannya. Jadi, kalau kualitas receiver-nya lemah, apa pun katalis yang distimulasikan kepadanya tidak akan efektif. Karena, receiver menentukan makna tersebut berdasarkan pada internal design (latarbelakang, pendidikan, sosial budaya, agama, keyakinan dan lain-lain)-nya. Jadi, jika kesadaran hukum masyarakat--budaya hukum--kita lemah, maka katalis (undang-undang, aturan, dan struktur hukum) apa pun yang diberlakukan dalam sistem sosial kita, hasilnya tidak efektif. Mengingat kesadaran kolektif (budaya hukum) ini terbentuk dari interaksi antarkomponen masyarakat, maka jika kesadaran hukum masyarakat lemah, berarti kualitas interaksi kita yang belum bermakna.
***
Berbagai hasil penelitian dan kajian tentang perubahan sosial menunjukkan, perbaikan struktur yang buruk itu hanya dapat dilakukan melalui komitmen diri sendiri yang bersandar pada kekuatan dialog guna melahirkan makna bersama (shared meaning) dan interaksi yang bermakna (Habermas, 1984; Bohm, 1990, 1991, 1996; Tannen, 1998; Figurea, 2001).
Dialog ini diperlukan guna membangun makna bersama dalam menciptakan interaksi dan aksi bersama yang bermakna. David Bohm mengingatkan bahwa makna bersama ini adalah perekat bagi pembentukan dan pemeliharaan survivalitas masyarakat dan budaya. Salah satu unsur kekuatan mengikat yang harus ada (elemen konstitutif) dalam makna bersama ini adalah 'koherensi'. Guna menjamin koherensi dalam upaya meningkatkan kualitas interaksi, muatan pembelajaran dialog itu harus bersumber dari nilai-nilai yang memiliki kebenaran absolut dan universal, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan, kemerdekaan, keseimbangan, kesetaraan, kebebasan (Adler, 1988; 79). Nilai-nilai universal yang menjamin keberterimaan pada semua komponen sistem sosial, dapat menjadi dasar bagi masyarakat dalam melakukan transformasi bersama. Untuk itu, diperlukan nilai bersama (shared values) yang dapat melahirkan komitmen dan tindakan bersama (collective action).
Pencapaian makna dan nilai bersama itu mensyaratkan sekurang-kurangnya tiga validitas dalam interaksi: (i) validitas kebenaran, (ii) validitas kejujuran, dan (iii) validitas normatif. (Habermas, 1984, Communicative Action). Ide intinya, agar dapat menjamin terciptanya shared values, setiap komponen sosial, terlatih di ranah tindakan, harus menyampaikan kebenaran secara jujur dalam rangka kebaikan dan kepatutan.
Hal ini dapat dipraktikkan mulai dari kelompok kecil, lingkungan keluarga dan kelompok inti (core team) dalam masyarakat dengan membentuk komunitas dialog. Salah satu praktik pembadanan konsep communicative action ini dapat dilihat pada pengalaman laboratorium pembelajaran di Desa Tanjung, Lombok Barat, yang dikembangkan P2BK Unram bekerja sama dengan The Blank-Ons dan John Hopkins University, USA. Saya melihat, ke depan, model inovasi sosial (lebih konkret) ini dapat menjadi alternatif dalam mengonstruksi identitas kolektif dan budaya hukum sebagai basis bagi pembentukan integritas nasional dalam rangka penguapan awan korupsi dan awan-awan penyimpangan sosial lainnya.
Hayyan ul Haq, Kandidat doktor ilmu hukum Utrecht University, The Netherlands
Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 21 Juli 2005