Hukuman Mati dan Pemberantasan Korupsi

Tuntutan pada Akil Mochtar akhirnya  dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin, 16 Juni 2014. Jaksa KPK menuntut Akil dengan pidana penjara seumur hidup tanpa ada alasan yang meringankan. Sepanjang sejarah berdirinya KPK, baru kali ini tuntutan penjara seumur hidup diberikan kepada tersangka perkara korupsi. Beberapa waktu lalu KPK sendiri membuka ruang bagi masyarakat untuk mengusulkan tuntutan pemidanaan yang pantas bagi Akil. Pilihan menghukum mati Akil pun muncul sebagai usul dari masyarakat, bahkan sebuah akun di Facebook turut dibuat untuk menjaring dukungan masyarakat.

Wacana hukuman mati bagi koruptor bukan hal baru. Banyak yang menganggap hukuman mati akan menjerakan orang-orang yang berniat melakukan korupsi dengan harapan praktik korupsi menurun dengan signifikan.  Mahfud MD dan hakim agung Artidjo Alkostar bahkan pernah menyatakan bahwa hukuman mati adalah hukuman yang pantas diberikan kepada koruptor.

Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang membuka peluang penjatuhan hukuman mati bagi koruptor, tetapi syarat penjatuhannya adalah kondisi yang berada di luar kendali pelaku korupsi. Hukuman mati bagi koruptor hanya bisa dijatuhkan apabila ia melakukan korupsi pada saat negara dalam keadaan bahaya, bencana nasional, krisis ekonomi dan moneter, atau jika korupsi dilakukan berulang.

Akil jelas tak dapat dituntut hukuman mati, tak peduli sebanyak apa alasan memberatkan diberikan. Pertama, pasal yang digunakan untuk menuntutnya pasal suap, bukan pasal tentang kerugian keuangan negara. Kedua, korupsi tak dilakukan ketika keadaan negara dan perekonomian negara sedang genting.

Tuntutan seumur hidup yang diajukan jaksa KPK perlu diapresiasi karena merupakan tuntutan maksimal yang bisa diberikan kepada tersangka korupsi dan belum pernah dilakukan KPK. Sepanjang sejarah, belum ada satu koruptor pun yang dituntut ataupun divonis dengan hukuman mati. Namun, kemudian muncul pertanyaan besar: apakah hukuman mati benar-benar dapat mengurangi atau bahkan menghapus korupsi?

Dua alasan
Ada dua alasan utama mengapa hukuman mati bukan jawaban tepat menjerakan koruptor. Pertama, hukuman mati adalah bentuk hukuman paling kuno dalam sejarah teori penghukuman. Codex Hammurabi dari Babilonia tercatat sebagai sumber hukum paling kuno yang memperbolehkan hukuman mati. Hukuman mati dalam konteks negara modern memunculkan banyak perdebatan, terutama karena bertentangan dengan HAM.

Alasan kedua, belum ada kajian yang dapat dipertanggungjawabkan dan menunjukkan penurunan angka korupsi. Parameter sederhana yang dapat digunakan untuk mengetahui apakah hukuman mati berpengaruh terhadap pengurangan atau penghapusan korupsi adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International.

Tiongkok dan Latvia, dua negara yang menerapkan hukuman mati bagi koruptor, berada pada posisi tengah dari 177 negara yang disurvei. Latvia berada pada posisi 49 dengan IPK 53, sedangkan Tiongkok berada pada posisi 80 dengan IPK 40. IPK Indonesia terpaut 8 angka dengan Tiongkok: 32. Negara-negara dengan IPK tertinggi, seperti Denmark dan Selandia Baru, tak memberlakukan hukuman mati untuk kejahatan apa pun, termasuk korupsi.

Melihat IPK Tiongkok dengan Indonesia yang tak terpaut jauh, patut diduga hukuman mati tak menjerakan bagi pelaku korupsi. Apabila pelaku sudah dihukum mati, rehabilitasi dan pemulihan nama baik tak dapat dilakukan jika ternyata yang dihukum mati bukanlah pelaku korupsi. Hal ini terkesan kompromistis, tetapi harus dijadikan titik ekstrem untuk menghindari penerapan hukum yang salah karena menyangkut nyawa manusia.

Lalu, apa pendekatan yang bisa digunakan untuk memaksimalkan pemidanaan dan menjerakan koruptor? Alternatif yang patut dipertimbangkan dengan serius adalah pemiskinan. Kombinasi penerapan UU Tipikor dan UU Pencucian Uang adalah pendekatan baru yang menekankan pada perampasan aset untuk negara sehingga dapat menjaring kekayaan koruptor yang diduga berasal dari korupsi.

Penggunaan pasal gratifikasi dalam UU Tipikor juga dapat jadi pendekatan baru dalam menjerat pegawai publik yang diduga memiliki kekayaan tak sah. Keunggulan pasal ini terletak pada kewajiban pembalikan beban pembuktian kepada tersangka dalam membuktikan bahwa harta benda tertentu tidak diperolehnya secara melawan hukum.

Gayus Tambunan adalah preseden baik penerapan pasal gratifikasi. Sayangnya, KPK belum pernah sekali pun menggunakan pasal ini untuk menjerat koruptor. Di awal penangkapan Akil, KPK sempat menyiratkan penggunaan pasal gratifikasi. Namun, pasal itu tak muncul dalam pembacaan tuntutan tempo hari.

Selain dua alasan itu, perlu pula pengaturan delik tentang peningkatan harta kekayaan secara tak sah. Norma ini diatur dalam UNCAC dan disarankan diterapkan negara peserta, termasuk Indonesia, tetapi belum juga ada pengaturan tentang illicit enrichment dalam UU Tipikor yang kini berlaku.

Jika pemerintah dan DPR serius memberantas korupsi dan menjerakan koruptor, pembaruan hukum nasional jadi hal mutlak. Perbaikan UU Tipikor melalui revisi UU Tipikor perlu kembali dilakukan setelah sempat mangkrak di DPR sejak 2012. Hal sama berlaku pada pembahasan RUU Perampasan Aset. Penjeraan koruptor dapat tercapai tanpa harus memberlakukan hukuman mati kepada pelakunya. Pemiskinan koruptor adalah alternatif baru untuk menjerakan koruptor sekaligus mengembalikan aset negara.

Lalola Easter, Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Kompas, 4 Agustus 2014

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan