Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 2-6 November 2015
Gratifikasi dan profesi dokter
Cerita gratifikasi yang diberikan oleh perusahaan farmasi obat kepada dokter semakin menguat. Menurut pemberitaan Tempo, ada kolusi antara perusahaan farmasi dan dokter ketika meresepkan obat-obat tertentu kepada pasien. Pertanyaan besar yang timbul di masyarakat adalah, bisakah dokter dijerat dengan Undang – undang tindak pidana korupsi?
Berdasarkan pemberitaan Tempo, PT. Interbat diduga menggelontorkan duit hingga Rp 131 miliar dalam tiga tahun, yaitu sejak 2013 hingga 2015. Uang itu diberikan kepada para dokter. Tujuannya, diduga agar dokter meresepkan obat-obatan produksi Interbat. Uang tersebut diduga mengalir ke setidaknya 2.125 dokter dan 151 rumah sakit yang tersebar di lima provinsi. Yaitu Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Data yang dimiliki Tempo menunjukkan seorang dokter bisa menerima uang dari Rp 5 juta sampai Rp 2,5 miliar.
Penjeratan perbuatan Gratifikasi diatur dalam pasal 12B dan 12C undang – undang Tipikor (tindak pidana korupsi). Pasal ini melarang pegawai negeri atau penyelenggara Negara dilarang menerima gratifiaksi. Jika menerima gratifikasi tersebut, maka dalam jangka waktu 30 hari penerima harus menyerahkannya kepada KPK. Jika tidak, maka penerimaan gratifikasi tersebut akan dianggap sebagai suap. Sanksi pidana dalam ketentuan ini paling singkat 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Namun, ada perdebatan yang muncul kemudian di masyarakat dan kalangan dokter. Apakah dokter masuk kategorikan sebagai pegawai negeri sebagaimana dimaksud Undang - undang tidak pidana korupsi?
Penafsiran pegawai negeri di Indonesia tidak hanya terbatas bagi siapa saja yang bekerja dan menerima uang atau penghasilan dari Negara. Tetapi juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum (pasal 92 KUHP). Menurut Undang – undag 29 tahun 2004, dokter dapat berpraktik jika sudah mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) dari KKI (Konsil Kedokteran Indonesia). KKI sendiri merupakan lembaga yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Gampangnya, dokter tidak boleh mengambil tindakan medis termasuk memberikan resep jika tidak mendapatkan otoritas dari Negara melalui KKI. Artinya, dokter masuk dalam kategori pegawai negeri atau pejabat.
Sebenarnya, khusus untuk lingkup Kemenkes (Kementerian Kesehatan) terdapat pengaturan yang lebih teknis. Mereka terikat dalam Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) nomor 4 tahun 2014, tentang pengendalian gratifikasi di lingkungan Kementerian Kesehatan. Menurut ketentuan tersebut, Aparatur Kementerian Kesehatan sebenarnya memiliki keharusan untuk melaporkan segala bentuk gratifikasi yang dia terima.
Permenkes ini mendefinisikan Aparatur Kemenkes melingkupi pegawai negeri sipil, penyelenggara Negara, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja dan pegawai lain yang bekerja di lingkungan Kemenkes. Lantas, bagaimana dengan dokter? Juga termasuk. Karena dokter berada dalam lingkungan Kemenkes.
Poin utama dari Permenkes ini adalah melarang tegas Aparatur Kementerian Kesehatan untuk menerima gratifikasi yang dianggap suap. Yaitu, imbalan dari pemasaran sebuah produk (marketing fee), cash back untuk kepentingan pribadi, gratifikasi terkait pengadaan barang – jasa atau lainnya, dan sponsorship terkait dengan pemasaran atau penelitian suatu produk. Selain itu, Permenkes ini juga telah membentuk UPG (Unit Pengendalian Gratifikasi) khusus di lingkungan Kemenkes. Tujuan utamanya adalah meningkatkan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi.
Ketentuan UU Tipikor dan Permenkes 14 tahun 2014 meletakan profesi dokter menjadi subjek yang bisa terjerat dengan delik korupsi, terlepas statusnya sebagai pegawai negeri sipil atau swasta (bukan PNS). Jika benar terdapat cukup bukti penerimaan gratifikasi, maka aparat penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan KPK bisa melakukan proses hukum.***
Kriminalisasi pemantau pemilu
Bagi Ronny Maryanto, Pemilihan Presiden 2014 bukan menjadi pesta demokrasi. Gelaran pemilu itu justru mendatangkan masalah di kemudian hari. Kini, Ronny – pemantau pemilu dari Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme – harus berurusan dengan hukum.
Mulanya, dia melaporkan praktek politik uang yang dilakukan Wakil Ketua DPR Fadli Zon ke Panitia Pengawas Pemilu Semarang. Tujuannya agar lembaga pemantau pemilu itu mengusut kebenaran informasi tersebut. Panwaslu Semarang langsung menyelidiki laporan Ronny. Mereka mencari penerima uang di Pasar Bulu, Semarang. Belakangan, Panwaslu menghentikan pengusutan politik uang karena tak menemukan si penerima duit.
Keesokan harinya Ronny mendatangi Pasar Bulu untuk mencari penerima uang. Tak diduga dia masih dapat menemukan penerima uang, beserta bukti poster Prabowo-Hatta dalam Pemilihan Presiden tahun lalu (dinyatakan dalam konferensi pers di Bawaslu, 5 November 2015).
Tak lama kemudian Ronny malah dilaporkan ke Bareskrim dengan tuduhan pencemaran nama baik Fadli Zon. Dia dijerat dengan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik dan pasal 311 KUHP tentang fitnah. Proses hukum berlangsung cepat hingga empat hari yang lalu (2/11/2015) berkas Ronny dinyatakan lengkap alias P21 dan telah dilimpahkan ke Kejaksaan untuk disidangkan. Di saat yang sama, Fadli Zon dalam pernyataannya di media mengungkapkan tidak tahu-menahu akan kasus ini bahkan lupa karena sudah setahun yang lalu.
Keadaan ini akhirnya menjadi preseden buruk dalam memfasilitasi partisipasi masyarakat ketika mengawasi pemilu. Masyarakat takut dikriminalisasi setelah dengan berani dan aktif melaporkan dugaan pelanggaran pemilu. Apalagi pasal yang dikenakan dalam kriminalisasi adalah pasal pencemaran nama baik, yang dikatakan Donal Fariz, koordinator divisi korupsi politik ICW, sebagai pasal karet. Usulan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pun dengan tegas ditolak Donal Fariz yakni melaporkan balik Fadli Zon ke Bareskrim dengan pasal yang sama – pencemaran nama baik.
Tepat satu bulan lagi masyarakat akan merayakan pesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Partisipasi publik pun sangat diharapkan untuk melancarkan jalannya pilkada hingga terpilih para kepala daerah yang berkualitas. Kasus kriminalisasi terhadap Ronny tidak boleh dibiarkan, harus dihentikan. Presiden wajib turun tangan dengan memberikan teguran keras kepada jaksa agung. Selain itu, Presiden juga harus menginstruksikan kepada jajarannya, termasuk Kapolri dan Jaksa Agung untuk memprioritaskan laporan pelanggaran pemilu, bukan justru pencemaran nama baiknya.
Pemilu serentak sudah semakin dekat. Masyarakat percaya, perlindungan hak publik untuk berpartisipasi dengan menyampaikan semua pelanggaran yang diketahuinya, bisa menyelamatkan pemilu dari korupsi.***
RINGKASAN MINGGUAN
-
Ada 37 calon hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi yang diragukan integritasnya. antikorupsi.org/ZTo
-
Ada kamuflase yang dilakukan DPR dalam rencana pembangunan gedung barunya, yang akhirnya dikabulkan pemerintah dalam pengesahan APBN 2016 sebesar 740 miliar. antikorupsi.org/ZTJ
-
Ada indikasi korupsi dalam sektor hutan, terlebih yang melibatkan perusahaan sawit karena berdasarkan data, ada 192 perusahaan sawit yang melanggar RTRWP dan PP No.60/2012. antikorupsi.org/ZT5
-
Kampanye penyadaran akan bahaya korupsi harus dimulai sejak dini dalam lingkungan keluarga. antikorupsi.org/ZTS
-
Pegiat antikorupsi di Semarang ditetapkan menjadi tersangka pencemaran nama baik atas laporan Fadli Zon. antikorupsi.org/ZTT
UPDATE STATUS
2 November
-
Rio Capella mengajukan permohonan menjadi justice collaborator.
-
Kejaksaan Tinggi Provinsi Bangka Belitung menyatakan penanganan perkara kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Desa Air Anyir, Kecamatan Merawang, dihentikan atau SP 3.
-
Dirut Pelindo II, RJ Lino, tidak hadir dalam pemeriksaannya sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mobile crane di Pelindo II.
3 November
-
Gubernur Sumatera Utara (nonaktif), Gatot Pujo Nugroho, ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 2012-2013.
-
Jaksa penuntut umum KPK menuntut Adriansyah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019, dengan hukuman 5 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp 250 juta subsider Rp 250 juta.
4 November
-
KPK menetapkan Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho sebagai tersangka dugaan suap kepada lima anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014.
5 November
-
KPK menetapkan lima anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 sebagai tersangka dugaan penerima suap dari gubernur nonaktif Gatot Pujo Nugroho.
6 November
-
Bareskrim memeriksa tiga orang saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mobile crane di PT Pelindo II.