Masa depan pemberantasan korupsi menemui jalan terjal. Betapa tidak, sesumbar yang selama ini diucapkan oleh pemerintah untuk membantah pelemahan terhadap agenda pemberantasan korupsi belum terbukti. Alih-alih meningkat signifikan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya bertambah satu poin, dari 37 menjadi 38. Hal ini setidaknya menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berjalan di tempat.
Pemberantasan korupsi semakin berada di titik nadir. Segala narasi penguatan yang kerap disampaikan oleh pemerintah dan DPR terbukti hanya ilusi semata.
Pada hari ini, 30 Agustus 2021, Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Lili terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua pelanggaran, yaitu, menyalahgunakan pengaruh selaku komisioner untuk kepentingan pribadi, dan berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengeluarkan peraturan kontroversial yang menyulut kemarahan publik. Dalam peraturan baru yang ditandatangani pimpinan KPK pada 30 Juli 2021, yaitu Peraturan Pimpinan KPK No. 6 tahun 2021, perjalanan dinas di lingkungan KPK untuk kegiatan rapat, seminar, dan sejenisnya disebut ditanggung oleh pihak penyelenggara. Kebijakan ini membuka peluang berbagai pihak untuk merusak independensi KPK melalui pemberian fasilitas kepada pegawai KPK.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) baru saja merilis temuan atas pemeriksaan dugaan maladministrasi penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK. Hasilnya –sebagaimana telah diprediksi sebelumnya-, Pimpinan KPK terbukti melakukan pelanggaran prosedur, administrasi, hingga penegakan hukum. Putusan ini memperparah borok kepemimpinan Firli Bahuri di KPK.
Hal yang paling dikhawatirkan publik terkait perlindungan sosial terjadi.
Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk keluar dari lembaga antirasuah.
Belum lama ini KPK termasyur sebagai sebuah cerita sukses. Namun pada 12 Mei 2021 ekonom Emil Salim memperingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak mempercayai sayap resmi KPK. Bagaimana pergeseran kepercayaan publik bisa terjadi?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada pada ambang batas kepercayaan publik. Praktis setiap waktu pemberitaan lembaga anti rasuah itu selalu diwarnai dengan problematika di internalnya sendiri. Mulai dari pencurian barang bukti, gagal menggeledah, enggan meringkus buronan Harun Masiku, hilangnya nama politisi dalam surat dakwaan sampai terakhir adanya dugaan pemerasan kepada kepala daerah. Selain karena rusaknya regulasi baru KPK, isu ini juga mesti diarahkan pada kebobrokan pengelolaan internal kelembagaan oleh para komisioner.
Perlahan, namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi. Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adapun perkara yang dihentikan oleh KPK adalah dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.