Menyoal Dugaan Perkara Hukum Lukas Enembe: Sengkarut Korupsi Politik dan Menguji Nyali KPK
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.
Merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, Lukas disinyalir melakukan penyelewengan anggaran operasional pimpinan dan pengelolaan Pekan Olahraga Nasional. Dalam konteks ini menjadi menarik jika dibenturkan dengan isu efektivitas pengawasan oleh inspektorat daerah. Sebab, aliran dana tak wajar Lukas bukan baru-baru ini terdeteksi, melainkan sejak tahun 2017 sebagaimana disampaikan Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan. Hal itu menandakan selama lima tahun ke belakang praktis peran inspektorat lemah sebagai aparat pengawas internal pemerintah provinsi Papua sekaligus benteng awal preventif praktik korupsi.
Tidak cukup itu, sekalipun terdengar klasik namun faktor yang kerap menjadi motif kepala daerah terjerumus praktik korupsi adalah biaya politik tinggi. Misalnya saja, berdasarkan temuan Kementerian Dalam Negeri beberapa tahun lalu, anggaran yang harus disediakan calon kepala daerah bisa puluhan miliar rupiah, bahkan untuk level gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Jika dilihat pendapatan setiap bulan, mustahil pimpinan daerah tersebut dapat mengembalikan modal yang telah dikeluarkan saat masa kampanye. Pada titik ini kemudian praktik korupsi merajalela dan berhasil menyeret ratusan kepala daerah ke proses hukum.
Dugaan praktik korupsi yang dilakukan oleh Lukas juga menjadi pemantik untuk mendesain ulang rekrutmen partai politik. Selama ini rekrutmen yang dilakukan partai politik tidak transparan dan akuntabel, serta hanya berorientasi pada kekuasaan. Biaya yang mahal juga menjadi persoalan serius dalam proses rekrutmen politik. Tak jarang kader partai politik harus mengeluarkan biaya hingga miliaran untuk mendapat rekomendasi dalam pemilu. Mereka yang telah melewati proses transaksi haram tersebut pada akhirnya tidak lagi memikirkan kepentingan publik saat menjabat, melainkan berfokus pada cara-cara agar bisa mengembalikan modal fantastis yang telah digelontorkan di awal. Proses yang demikianlah yang kemudian menjadi akar dari praktik korupsi. Rekrutmen politik semestinya sejak awal menitikberatkan pada kapabilitas, serta nilai-nilai integritas dan antikorupsi. Proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel sejak awal penting untuk mendukung fungsi partai politik berjalan dengan baik.
Menyangkut perkembangan penanganan perkaranya sendiri, Indonesia Corruption Watch (ICW) memiliki catatan khusus. Pertama, sebagai warga negara, terlebih menduduki jabatan sebagai kepala daerah, Lukas semestinya memberikan contoh baik kepada masyarakat dengan memenuhi panggilan KPK. Sebagaimana dipahami berdasarkan Pasal 112 KUHAP, seseorang yang dipanggil sebagai saksi maupun tersangka memiliki kewajiban hukum untuk menghadirinya. Jadi, jika Lukas terus menerus mangkir, sudah selayaknya KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa. Hal ini pun sejalan dengan Pasal 50 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa tersangka berhak mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.
Opsi lain yang juga mungkin dilakukan oleh KPK adalah menangkap dan menahan Lukas. Pasal 17 KUHAP mensyaratkan dua hal kepada aparat penegak hukum yang ingin melakukan penangkapan, yakni, perkara sudah naik ke tahap penyidikan dan status orang tersebut sebagai tersangka. Bahkan, jika kemudian Lukas ditangkap, KPK pun dapat langsung melakukan penahanan seperti diatur dalam Pasal 21 KUHAP dengan alasan-alasan tertentu, misalnya, kekhawatiran tersangka akan melarikan diri. Dengan itu diyakini proses hukum terhadap Lukas dapat berjalan lancar dan siap untuk segera disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Melansir sejumlah pemberitaan disebutkan bahwa Lukas saat ini diduga dalam keadaan sakit sehingga tidak dapat menghadiri pemeriksaan di KPK. Menanggapi hal itu, untuk memastikan objektivitas keterangan tersebut, KPK dapat meminta second opinion dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ini bukan pertama kali KPK lakukan, sebelumnya lembaga antirasuah itu juga pernah meminta bantuan IDI saat menangani perkara korupsi KTP-Elektronik dengan tersangka mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Kala itu terbukti bahwa alasan sakit yang diutarakan oleh Setya terlalu mengada-ngada. Maka dari itu, penting bagi KPK untuk segera mengulangi tindakan tersebut dalam konteks perkara Lukas.
Dalam hal kondisi kesehatan Lukas terbukti benar sedang sakit, itupun tidak bisa menghentikan langkah KPK menyidik perkara tersebut. Sebab, berdasarkan peraturan perundang-undangan, KPK diperkenankan menerapkan pembantaran terhadap Lukas hingga yang bersangkutan dianggap layak diperhadapkan dengan proses hukum. Sama seperti situasi di atas, pembantaran juga pernah dilakukan KPK saat menangani perkara yang melibatkan mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy.
Kedua, penanganan perkara yang diduga melibatkan Lukas harus menitikberatkan pada pengembalian aset hasil kejahatan. Perkembangan terkini, merujuk pada pernyataan Pimpinan KPK, Alexander Marwata, Menkopolhukam, dan PPATK, Lukas diduga terlibat dalam dua kejahatan sekaligus, diantaranya, tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan pencucian uang. Dua delik ini terbilang mudah secara pembuktian, sebab turut mengatur mekanisme pembalikan beban pembuktian. Sederhananya, seluruh sangkaan atau dakwaan KPK, kewajiban untuk membuktikan adanya aliran dana tidak wajar bukan berada pada ranah penuntut umum, melainkan terdakwa sendiri. Sederhananya, jika terdakwa tidak bisa membuktikan penerimaan itu didapatkan dari hal wajar, maka aparat penegak hukum melalui putusan pengadilan dapat langsung merampas aset-aset tersebut.
Dalam konstruksi dugaan pencucian uang yang dilakukan oleh Lukas, ada fenomena menarik, yakni penggunaan nominee dan pengakuan dari Menkopolhukam berkaitan staf Gubernur Papua yang bertugas menjadi manajer pencucian uang. Selain itu, keterangan tersebut turut menyebutkan penggunaan sarana perjudian sebagai modus pencucian uang. Sebagaimana diketahui, PPATK menemukan transaksi perjudian dengan bentuk setoran melalui beberapa pihak lain (nominee) dengan nominal dari satu hingga ratusan miliar. Secara konseptual, nominee kerap digunakan sebagai alat untuk memfasilitasi korupsi maupun illicit enrichment dengan mengaburkan keterkaitan langsung pelaku dengan tindakan bersangkutan. Di Indonesia, penggunaan nominee dalam konteks memuluskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang bukanlah isu baru. Meskipun dalam konteks berbeda, dalam kasus korupsi Jiwasraya misalnya, Direktur PT Himalaya Energi Perkasa yang divonis 20 tahun penjara dan denda satu miliar subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta terbukti telah mendirikan sejumlah perusahaan nominee dan membuat beberapa nominee perseorangan untuk melancarkan kejahatannya.
Lebih lanjut, apabila memang terbukti bahwa terdapat pemanfaatan sarana perjudian sebagai modus pencucian uang dalam dugaan kasus yang melibatkan Lukas, ICW menilai bahwa hal tersebut bukanlah hal yang mengejutkan. Sebab, sarana perjudian seperti kasino memiliki risiko dan kerentanan inheren untuk terjadinya pencucian uang. Sebagai bagian dari operasi bisnisnya, kasino mengelola dana dengan jumlah yang sangat besar dan dalam frekuensi waktu yang cukup rutin. Tidak adanya pemeriksaan dan pengawasan ketat terhadap sirkulasi dana dalam transaksi perjudian dapat memperkuat kerentanan-kerentanan untuk adanya praktik pencucian uang.
Ketiga, KPK harus membuka celah untuk menjerat pihak-pihak yang berupaya menghalang-halangi proses hukum dengan memanfaatkan Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ada pola yang biasanya digunakan oleh pelaku korupsi untuk menghindar dari proses hukum, salah satunya melalui pengerahan massa untuk menghalangi aparat penegak hukum. Jika itu dilakukan, maka, baik pihak yang memerintah maupun yang diperintah dapat diproses hukum atas sangkaan obstruction of justice. Ancaman pidananya pun cukup tinggi, yakni mencapai 12 tahun penjara.
Keempat, narasi yang dibangun oleh KPK terkait dengan kelanjutan proses hukum Lukas terlalu berlebihan. Betapa tidak, Alexander sampai mengutarakan mengenai penghentian penyidikan kepada pihak Lukas agar kemudian Gubernur Papua itu bisa menghadiri panggilan KPK. Ini menimbulkan kesan diskriminasi terhadap pihak-pihak lain yang sedang diproses hukum oleh lembaga antirasuah itu. Mestinya ada pesan tegas, bukan malah seperti memohon kepada terduga pelaku agar kooperatif.
Untuk itu, atas permasalahan hukum Lukas, ICW mendesak agar:
1. Lukas Enembe bersikap kooperatif dengan menghadiri pemeriksaan dirinya sebagai tersangka di KPK;
2. KPK bersikap tegas terhadap permasalahan hukum Lukas Enembe, misalnya, mengambil tindakan berupa penjemputan paksa dan menjerat pihak-pihak yang menghalang-halangi proses penyidikan;
3. Partai Demokrat mendukung sepenuhnya langkah KPK dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya menyangkut penyidikan terhadap Lukas Enembe;