Putusan Etik Lili: Rendahnya Hukuman dan Buruknya Performa Dewan Pengawas

Sumber foto: Antara

Pada hari ini, 30 Agustus 2021, Dewan Pengawas menjatuhkan sanksi berat atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Lili terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan dua pelanggaran, yaitu, menyalahgunakan pengaruh selaku komisioner untuk kepentingan pribadi, dan berhubungan langsung dengan pihak yang sedang berperkara di KPK. Pelanggaran etik ini kian menggambarkan adanya permasalahan serius, terutama dalam hal menjaga integritas, di antara Komisioner KPK. 

Putusan Dewan Pengawas ini terbilang ringan karena tidak sebanding dengan tindakan yang telah dilakukan oleh Lili. Bisa dibayangkan, Lili secara sadar memanfaatkan jabatannya selaku komisioner untuk mengurus kepentingan keluarga yang sebenarnya tidak ada kaitan dengan tugas dan kewenangan KPK. Selain itu, Lili juga turut membantu perkara mantan Walikota Tanjung Balai, Syahrial, dengan cara menjalin komunikasi dan memberikan kontak seorang advokat di Medan. Perbuatan Lili Pintauli dapat disebut sebagai perbuatan koruptif, sehingga Dewan Pengawas seharusnya tidak hanya mengurangi gaji pokok Lili, tetapi juga meminta yang bersangkutan untuk segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisioner KPK.

Desakan agar Lili Pintauli segera hengkang dari KPK bukan tidak berdasar. Ada sejumlah alasan, baik secara yuridis maupun moral, yang melandasinya. Pertama, tindakan Lili sudah memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Regulasi itu menyebutkan bahwa Komisioner KPK berhenti karena terbukti melakukan perbuatan tercela.

Tidak hanya dua perbuatan yang disampaikan oleh Dewan Pengawas saja, Ombudsman RI dan Komnas HAM RI juga menemukan adanya malaadministrasi dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Komisioner KPK -salah satunya Lili-, dalam penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan bagi pegawai KPK. Pada regulasi lain, tepatnya Bab II Angka 2 Etika Politik dan Pemerintahan TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, sudah menegaskan pula bahwa pejabat publik harus siap untuk menanggalkan jabatannya jika terbukti melakukan pelanggaran dan tidak mampu memenuhi amanah yang diberikan kepadanya.

Kedua, putusan etik yang dikenakan kepada Lili semakin memperburuk citra KPK di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, tingkat kepercayaan masyarakat kepada lembaga antirasuah itu terus menurun sejak beberapa waktu terakhir. Berdasarkan catatan ICW, setidaknya ada tujuh lembaga survei pada tahun 2020 lalu mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini pun wajar, mengingat banyaknya kontroversi yang dihasilkan oleh Komisioner KPK baru, mulai dari ketidakmampuan mengelola internal kelembagaan, menurunnya performa kinerja penindakan, hingga ketiadaan konsep pencegahan korupsi yang jelas. Sehingga, secara moral, meskipun tidak disebut dalam putusan Dewan Pengawas, lebih baik Lili segera mengundurkan diri.

Berangkat dari putusan Dewan Pengawas kepada Lili, masyarakat dapat melihat jelas bahwa penegakan etik di KPK tidak bertaji. Sebab, sejak satu tahun terakhir, Dewan Pengawas seperti enggan untuk menjatuhkan sanksi berat kepada pejabat tinggi KPK. Misalnya, rendahnya hukuman kepada Firli Bahuri saat terbukti menggunakan helikopter mewah, penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan yang dianggap benar, dan tidak adanya hukuman ketika salah satu anggota Dewan Pengawas, Indriyanto Seno Adji, turut mengomentari penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan.

Melihat tindakan Lili di atas, ada sejumlah langkah hukum yang harus ditempuh:

1.  Kedeputian Penindakan KPK Harus Mendalami Potensi Suap di Balik Komunikasi Lili Pintauli Siregar dengan Mantan Walikota Tanjung Balai

Penelusuran ini penting untuk dilakukan oleh KPK. Sebab, pembicaraan antara Lili dan Syahrial dalam konteks perkara yang sedang ditangani oleh lembaga antirasuah itu. Jika kemudian terbukti adanya tindak pidana suap, maka Lili Pintauli Siregar dapat disangka dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara seumur hidup.

2.  Dewan Pengawas Harus Melaporkan Lili Pintauli Siregar ke Kepolisian

Langkah hukum ini bukan kali pertama dilakukan oleh KPK. Pada tahun 2009 lalu, Komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto, juga pernah melakukan hal tersebut tatkala melaporkan Antasari Azhar karena diduga bertemu dengan Anggoro Widjaja, Direktur PT Masaro Radiokom di Singapura. Pasal 65 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas menyebutkan adanya ancaman pidana penjara hingga lima tahun bagi komisioner yang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan pihak berperkara di KPK.

 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan