ICW Menyesalkan Dugaan Kesepakatan Terselubung antara Ombudsman RI dengan Kemendagri terkait Landasan Hukum Penjabat Kepala Daerah
Terhitung sejak Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) dikeluarkan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 19 Juli 2022 yang menetapkan proses pengangkatan dan penetapan Penjabat (PJ) Kepala Daerah penuh dengan maladministrasi, praktis sudah lebih dari 300 hari tindakan korektif tidak dijalankan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan fakta baru, yakni adanya dugaan kesepakatan yang dilaksanakan secara diam-diam antara ORI dan Kemendagri untuk tetap menggunakan payung hukum Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) untuk dijadikan rujukan dalam pengangkatan PJ Kepala Daerah. Padahal, berdasarkan LAHP Ombudsman, bahkan ditambah dengan pernyataan Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, landasan hukum berupa Permendagri tak cukup mengakomodir kebutuhan mekanisme pengangkatan PJ Kepala Daerah, melainkan harus menggunakan Peraturan Pemerintah (PP). Ini menunjukkan ORI melunak dengan Kemendagri dan melenceng jauh dari LAHP yang telah dikeluarkan.
Pernyataan mengenai adanya dugaan kesepakatan diam-diam antara ORI dan Kemendagri bukan tanpa alasan. Sebab, ICW maupun organisasi masyarakat sipil lain seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai Pelapor dugaan maladministrasi pengangkatan PJ Kepala Daerah oleh Menteri Dalam Negeri tidak diberikan informasi apapun.
Informasi kesepakatan antara dua lembaga negara itu justru diketahui melalui pernyataan pihak Kemendagri saat menghadiri persidangan di Komisi Informasi Pusat dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Peristiwa itu sekaligus membuktikan bahwa ORI melanggar Pasal 3 huruf e dan g Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (UU ORI) tentang asas Akuntabilitas dan Keterbukaan dalam melaksanakan tugas dan kewenangan.
Selain itu, ORI pun terbilang sangat lambat menaikkan status LAHP menjadi Rekomendasi dalam kaitan tindakan maladministrasi Mendagri. Mengacu Pasal 27 ayat (7) Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan, disebutkan bahwa ORI memberikan kesempatan selama 30 hari kepada Terlapor untuk melakukan tindak lanjut berdasarkan LAHP. Alih-alih mematuhinya, ORI justru larut dengan langgam Kemendagri yang akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota (Permendagri 4/2023).
Pasifnya sikap ORI tersebut diduga diakibatkan karena adanya kesepakatan terselubung, periode Desember 2022 lalu ORI masih bersikukuh agar Kemendagri segera menyusun naskah PP. Tentu muncul pertanyaan lanjutan, bagaimana mungkin ORI bisa mendiamkan persoalan ini, sedangkan tuntutan mereka dijawab Kemendagri dengan tetap mengeluarkan Permendagri, bukan PP?
Ada sejumlah catatan ICW menyangkut Permendagri 4/2023 yang awal April lalu baru dikeluarkan oleh Kemendagri. Pertama, regulasi ini jelas dan terang benderang bertentangan dengan Pasal 86 ayat (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sederhana saja argumentasinya, pasal tersebut mengamanatkan pengaturan mengenai persyaratan dan masa jabatan Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota harus melalui payung hukum PP, bukan peraturan perundang-undang lain, terlebih sekadar Permendagri.
Kedua, Permendagri 4/2023 bertabrakan dengan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021. Sebab, putusan MK tersebut mengamanatkan secara spesifik kepada Pemerintah, bukan Kemendagri, untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dari bunyi putusan sudah jelas bahwa yang diharapkan untuk membuat aturan turunan bukan Kemendagri, tetapi Pemerintah dan bukan pula berupa Permendagri, melainkan PP.
Ketiga, muatan Permendagri 4/2023 mengabaikan hak partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan atau dapat dikatakan tidak demokratis. Bukan tanpa dasar, sebab, pengusulan PJ kepala daerah, baik Gubernur, Bupati, maupun Wali Kota, praktis hanya melibatkan eksekutif melalui Menteri dan DPRD. Ini sekaligus memperlihatkan pemberian kewenangan yang begitu besar kepada Kemendagri akan tetapi tanpa diikuti dengan check and balance. Akibatnya bisa buruk, misalnya, terdapat potensi penyalahgunaan kewenangan yang sangat besar. Mekanisme partisipasi di sini pun tak langsung atau menggunakan pendekatan representasi melalui cabang kekuasaan legislatif. Kemendagri terlihat sengaja mengabaikan nilai meaningful participation dari masyarakat dalam pengusulan PJ, mulai dari hak didengarkan, hak dipertimbangkan, dan hak penjelasan atas pendapat yang telah diberikan.
Oleh karena itu, atas catatan di atas ICW mendesak:
- Ombudsman Republik Indonesia menjelaskan perkembangan penanganan maladministrasi Menteri Dalam Negeri dalam pengangkatan Penjabat kepala daerah secara terbuka kepada masyarakat.
- Ombudsman Republik Indonesia segera mengeluarkan Rekomendasi dan mengirimkannya kepada Presiden dan DPR terkait perbuatan maladministrasi oleh Menteri Dalam Negeri dalam hal pengangkatan Penjabat kepala daerah.
- Ombudsman Republik Indonesia tetap konsisten untuk merekomendasikan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan hukum dalam penetapan Penjabat Kepala Daerah