Antikorupsi.org, Jakarta, 13 November 2017 – Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan indikasi kerugian negara dari sektor batubara selama 2006-2016 mencapai Rp133,6 triliun. Indikasi kerugian negara ini disebabkan adanya transaksi ekspor batubara yang tidak dilaporkan (unreporting). Temuan ini dipaparkan oleh Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Riset ICW, pada Jumat 10 November 2017 dalam konferensi pers di Kantor ICW.
Sejak 6 November 2017, pengungkapan praktik-praktik penghindaran dan pengelakan pajak yang terhimpun dalam ”Paradise Papers” mengisi laman situs International Consortium of Investigative Journalists.
Fokus perhatian masyarakat internasional tertuju pada tokoh-tokoh dunia dan perusahaan multinasional yang diduga terlibat dalam skema-skema yang disusun oleh sebuah firma hukum terkemuka berbasis di Bermuda untuk mengurangi beban pajak yang terutang.
Empat tahun lalu, saat Komisi Yudisial (KY) masih memiliki kewenangan untuk bersama Mahkamah Agung (MA) ikut menyeleksi hakim, seorang hakim kawan baik saya sudah membisiki: "Nanti, kalau ada seleksi calon hakim, saya nitip keponakan saya, ya. Segala sesuatunya beres."
Saya kaget, kok, begitu vulgar hakim bicara kepada saya, yang waktu itu menjabat Wakil Ketua KY. Saya tak menjawab, pura-pura tidak mendengar. Saya alihkan pembicaraan ke masalah lain. Maka, ketika Koran Tempo edisi 6 November 2017 memuat berita "Dugaan Pungli Coreng Seleksi Hakim", saya tidak kaget lagi.
Sebanyak 22 orang anak muda terpilih telah mengikuti Sekolah Antikorupsi (SAKTI) 2017 yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Agustus lalu. Berbeda dengan tahun 2013 dan 2015, SAKTI kali ini mendapatkan dukungan besar dari masyarakat melalui donasi publik maupun dukungan korporasi.
Kisruh internal di KPK terus berlanjut. Setelah sebelumnya Direktur Penyidikan KPK, Aris Budiman bersitegang dengan penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang berujung dengan pelaporan Aris ke Kepolisian, sampai hari ini Pimpinan KPK terbelah pendapatnya atas jenis sanksi yang perlu diberikan kepada Aris Budiman atas tindakan indisiplinernya hadir dalam Pansus Angket KPK. Terakhir, beberapa penyidik KPK dari latar belakang Kepolisian disinyalir telah menghapus, merusak, dan menghilangkan barang bukti dalam penanganan kasus yang melibatkan seorang pengusaha.
Realitas perlindungan hak asasi manusia setelah Orde Baru memperlihatkan wajah paradoksal. Di satu sisi, terjadi penguatan dalam legalisasi norma-norma hak asasi di pelbagai peraturan perundang-undangan. Pada saat yang sama, muncul keresahan akibat meluasnya intoleransi terhadap perbedaan serta bangkit dan beraksinya kelompok-kelompok dengan misi memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Salah satu anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP—juga anggota Pansus KPK, Arsul Sani—mengatakan bahwa pihaknya akan mengajukan RUU Penyadapan. Usulan ini muncul karena aturan penyadapan di setiap lembaga penegak hukum berbeda satu sama lain.
Mengenai substansinya dikehendaki bahwa ”RUU Penyadapan berlaku terhadap semua lembaga penegak hukum, tidak ada lex specialis, dan setiap lembaga penegak hukum wajib izin ke pengadilan, termasuk KPK”. Mungkinkah menyadap tanpa seizin hakim? Apa alasannya? Bagaimana dengan hak asasi manusia orang yang disadap?