Tolak RKUHP Ngawur

Foto: Rumah Cemara
Foto: Rumah Cemara

Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang memunculkan polemik dan mendapatkan penolakan banyak pihak. Subtansi RKUHP yang ada saat ini dinilai membahayakan demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia, dan pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Salah satu yang menolak keras keberadaan RKUHP adalah Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Aliansi ini merupakan gabungan dari beberapa lembaga seperti ICJR, Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, LBH Pers, Imparsial, HuMA, LBH Jakarta, dan PSHK.

Aliansi menyatakan ada tujuh alasan mengapa RKUHP ini harus ditolak. Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasimelebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization)Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan. Ketiga, RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat.

Keempat, RKUHP mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi. Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen. Ketujuh, RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.

Selain ketujuh alasan tersebut, dengan dimasukkannya tindak pidana atau delik korupsi dalam RKUHP dapat mengancam eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski Pemerintah dan DPR RI kerap berdalih bahwa jika RKUHP disahkan tidak akan mengganggu kerja KPK, namun kenyataannya justru dapat sebalikanya.

Kewenangan KPK tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) yang secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor. Jika delik korupsi dimasukkan dalam KUHP, maka kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam kasus korupsi nantinya akan beralih kepada Kejaksaan dan Kepolisian karena kedua institusi ini dapat menangani kasus korupsi yang diatur selain dalam UU Tipikor.

Selain KPK, institusi lain seperti Pengadilan Tipikor juga berpotensi tidak berdaya jika delik korupsi masuk dalam RKUHP. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor pada intinya menyebutkan bahwa Pengadilan Tipikor hanya memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Dengan demikian tindak pidana korupsi yang diatur diluar UU Tipikor – misal KUHP – tidak dapat diadili oleh Pengadilan Tipikor.

Banyaknya persoalan yang muncul dalam RKUHP kemudian memunculkan istilah bahwa Rancangan regulasi yang saat ini dibahas DPR dan Pemerintah sebagai RKUHP yang tidak benar (ngawur). Oleh karenanya Presiden Joko Widodo dan DPR sebaiknya  menghentikan rencana mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan, masih dinilai rasa kolonial dan merugikan upaya pemberantasan korupsi serta dicurigai berupaya melemahkan KPK maupun Pengadilan Tipikor.  Sekali lagi Tolak RKUHP Ngawur, agar negeri ini tidak makin ngawur. (Emerson)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags