Anomali Dalam Revisi UU MD3
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah rampung membahas revisi UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Namun, UU MD3 yang disahkan pada 12 Februari 2018 tersebut memuat sejumlah materi baru yang justru menimbulkan reaksi keras dari publik.
Sedikitnya terdapat empat materi dalam UU MD3 yang kini menjadi polemik. Pertama, disepakatinya penambahan satu kursi pimpinan DPR dan tiga kursi pimpinan MPR. Penambahan kursi pimpinan diketahui tidak didasarkan pada kebutuhan DPR dan MPR secara kelembagaan. Sebab, tidak ada hasil kajian dan evaluasi yang mendesak penambahan kursi tersebut. Penambahan kursi pimpinan DPR lebih bersifat kompromi terhadap partai pemenang pemilu legislatif 2014 yang gagal mendapat kursi pimpinan. Setidaknya, latar belakang inilah yang mengemuka sejak awal periode DPR 2014-2019.
Kedua, berkenaan dengan fungsi pengawasan oleh DPR. Dalam Pasal 73 UU MD3 baru, DPR dimungkinkan memanggil paksa seseorang untuk diperiksa dengan melibatkan kepolisian. Disebutkan pula bahwa Kepolisian dapat melakukan penyanderaan paling lama 30 hari. Padahal, penahanan hanya dapat dilakukan jika terdapat dua alat bukti yang mengarahkan seseorang tersebut adalah pelaku tindak pidana.
Ketiga, pemberian wewenang kepada Majelis Kehormatan Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dinilai merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Ketentuan dalam pasal 122 huruf k UU MD3 menyiratkan DPR tidak terbuka terhadap kritik publik. DPR gagal memaknai maksud dan penyebab kritik. Kritik seharusnya dimaknai sebagai wujud kekecewaan atas kinerja dan citra DPR serta upaya publik mendorong DPR bertransformasi menjadi lembaga yang lebih baik.
Keempat, pemanggilan anggota DPR oleh penegak hukum harus melewati pertimbangan MKD. Ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014. MKD yang merupakan alat kelengkapan dewan disebut tidak berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana sehingga pelibatan MKD dalam pemanggilan anggota dewan dinilai tidak tepat. Pelibatan MKD menunjukkan bahwa anggota DPR “enggan” dipanggil penegak hukum namun “bersemangat” menghadirkan pihak yang mereka butuhkan keterangannya dan mereka anggap menghina DPR. Terdapat semangat yang kontras antara Pasal 73 dengan Pasal 245 dan 122 huruf k UU MD3.
Kekecewaan publik tidak hanya ditujukan terhadap DPR, tetapi juga Menteri Hukum dan HAM sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan revisi UU MD3. Menteri Yasonna Laoly justru menyatakan revisi UU MD3 akan meningkatkan kerja legislatif dan eksekutif dengan prinsip check and balance.
Dalam kacamata Indonesia Corruption Watch tidak ada satu pun poin revisi yang mengarah pada upaya peningkatan kerja DPR. Sebaliknya, pasal-pasal kontroversial dalam UU MD3 menunjukkan bahwa revisi sebatas ditujukan untuk kompromi pembagian kursi pimpinan DPR, kegerahan DPR terhadap kritik publik selama ini dan upaya penghindaran anggota DPR dari proses hukum.
Melihat kritik deras publik atas proses pembahasan Revisi UU MD3 yang tertutup dan subtansinya yang kontroversial, maka DPR dan Pemerintah sebaiknya kembali merevisi UU yang baru disahkan tersebut. Jika DPR bersikeras menolak, Presiden Jokowi sebaiknya segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Revisi UU MD3. Langkah ini tidak hanya untuk meredam kekecewaan publik tetapi juga menjaga lembaga legislatif tetap demokratis dan menghormati proses peradilan yang independen. (Almas/Emerson)