Aspek Hukum Mahar Politik
Tudingan bahwa praktik ”mahar politik” terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, dan daerah-daerah lain menjelang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, membuat Badan Pengawas Pemilu provinsi dan kabupaten/ kota dituntut bersikap dan bertindak tegas sesuai dengan tugas dan wewenangnya.
Benarkah ”mahar politik” tidak terelakkan dalam proses pencalonan? apa implikasi hukum dari praktik itu? Mampukah Bawaslu menanggulanginya?
Membahas ”mahar politik” tidak lepas dari membahas kecurangan dalam proses penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, wali kota yang semestinya dilakukan secara demokratis. Proses penyelenggaraan pemilihan secara demokratis ditandai adanya kepastian hukum dalam pengaturan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu yang dirumuskan berdasarkan asas-asas pemilu yang demokratis.
Di samping itu juga harus terwujud integritas proses dan hasil pemilu dan sistem penyelesaian pelanggaran dan sengketa pemilu secara adil. ”Mahar politik” telah mencederai integritas itu. Pemilik uang telah mengontrol demokrasi, dan rakyat akan disodori calon pemimpin yang sudah diatur, jika praktik ini marak dan tidak terjamah.
Sebenarnya kerangka hukum yang mengatur pemilihan itu telah cukup, yakni adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi undang-undang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Kerangka hukum ini memang berada di luar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur pemilihan presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam kerangka hukum pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota itu sudah diatur larangan praktik ”mahar politik” serta apa implikasi hukumnya. Ini merupakan suatu kemajuan mengingat di masa dulu, praktik ini tidak tersentuh oleh perundang-undangan kita sehingga hanya digosipkan tanpa bisa diawasi, apalagi ditindak tegas.
Kini persoalannya, apakah dengan sudah adanya dasar hukum melarang beserta implikasinya, praktik ini akan berkurang? Apakah penyelenggara, pengawas, dan penegak hukum dapat memprosesnya hingga tuntas? Apabila praktik penyimpangan, kecurangan, atau pelanggaran cukup banyak terjadi dan tidak tersentuh hukum, maka legitimasi proses penyelenggaraan pemilihan akan dipertanyakan.
Untuk menjaga integritas proses dan hasil pemilu diperlukan mekanisme menampung dan menindaklanjuti seluruh keberatan, pengaduan, dan gugatan secara efektif, adil, dan tepat waktu. Legitimasi pemilu dan kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi setidaknya atau sebagian tergantung pada bagaimana negara merespons dan menindaklanjuti pengaduan warga masyarakat.
Proses pemilu yang kredibel menjadi fondasi bagi pemerintahan yang memiliki legitimasi. Jadi, persoalan ”mahar politik” ini bukan hal sepele yang bisa diabaikan oleh penyelenggara, pengawas pemilu, dan penegak hukum.
Implikasi ”mahar politik”
Pasal 187 a, b, dan c Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memuat dua jenis kejahatan terkait uang dalam proses pemilihan, yakni politik uang dan ”mahar politik”. Pasal 187 a melarang perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu.
Ketentuan tersebut sering disebut sebagai ”politik uang”. Praktik ini diancam pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Bukan hanya pemberi yang terkena, penerima juga terkena ancaman pidana yang sama.
Ketentuan di atas beda dengan ”mahar politik”. Ketentuan politik uang dimaksudkan agar peserta pemilu tidak membujuk, menyogok rakyat pemilih dengan iming-iming uang atau barang lainnya. Praktik ini memang banyak dilaporkan terjadi dari pemilu ke pemilu, juga setiap kali diadakan pemilihan gubernur, bupati, wali kota di sejumlah daerah. Dengan ancaman tersebut, tidak bisa lagi anjuran, terima uangnya, jangan pilih orangnya, sebab pemberi dan penerima sama-sama terkena pidana.
Sementara dalam tahapan pencalonan saat ini, yang marak adalah praktik ”mahar politik” di mana orang atau lembaga memberikan imbalan kepada partai politik atau gabungan partai politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan gubernur, bupati, dan wali kota.
Di sini tidak dijelaskan untuk apa imbalan itu, hanya disebut ”dalam bentuk apa pun” dan ”dalam proses pencalonan”. Dalam praktiknya, imbalan dimaksudkan agar partai politik atau gabungan partai politik bersedia mengajukan seseorang untuk proses pencalonan, baik sebagai calon gubernur, bupati, maupun wali kota.
Bukan hanya si pemberi yang terkena ancaman pidana, penerimanya, baik dari partai politik maupun gabungan partai politik, juga terancam pidana meskipun ada perbedaan sanksi pidana. Penerima ”mahar politik” diancam pidana lebih berat.
Lalu, apa akibatnya jika praktik ini dilakukan? Ada dua implikasi dari ”mahar politik”, yakni sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana diatur dalam Pasal 187 b dan 187 c Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Ancaman pidana terhitung berat, yakni pidana penjara 2 hingga 5 tahun bagi pemberi imbalan dan 3 hingga 6 tahun bagi penerima imbalan serta denda Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar.
Selain implikasi berupa pidana, apabila putusan itu sudah berkekuatan hukum tetap, maka ada sanksi administratif, yakni pembatalan sebagai calon gubernur, calon bupati, calon wali kota. Bahkan jika sudah ada penetapan terpilih juga dapat dibatalkan. Tidak itu saja, jika sudah menjabat pun masih dapat dibatalkan sesuai dengan Pasal 47 undang-undang yang sama.
Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik terbukti menerima imbalan, mereka dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Dengan demikian, sanksi dari praktik ”mahar politik” ini sangat berat.
Pertanyaannya, dapatkah ketentuan di atas ditegakkan?
Sulit tegakkan aturan
Tidak mudah menegakkan aturan tentang ”mahar politik” ini meski sudah tercantum dalam undang-undang. Hal ini tecermin dari ungkapan ”antara ada dan tiada”, ”cederai politik, sulit dibuktikan”, dan sebagainya. Kenyataannya memang sulit ditegakkan. Mengapa? Antara lain karena implikasi yang sangat berat, yakni pidana hingga 6 tahun dan pembatalan sebagai calon, calon terpilih maupun sesudah menjabat, pasti upaya menghindari jeratan hukum dilakukan sekuat tenaga dan dengan canggihnya.
Selain itu, teknik netralisasi untuk lolos pasti dilakukan oleh pihak-pihak yang terancam sanksi. Upaya perlawanan kepada Bawaslu juga akan dilakukan dengan luar biasa. Sulit menemukan saksi untuk pembuktiannya. Kalaupun ada saksi, sulit diterima kesaksian yang benar-benar bisa menguak tabir kasus ini. Semua karena implikasi yang berat itu. Pertanyaannya, jika tidak bisa ditegakkan, untuk apa pasal ini diadakan?
Tentu ini jadi tantangan besar Bawaslu dan penegak hukum untuk menghadapinya, memprosesnya, dan menindak jika terbukti praktik ini dilakukan. Menurut hemat saya, penentu pada akhirnya adalah keberanian, kemauan, dan kecanggihan dari Bawaslu dan penegak hukum dalam menghadapi para pelaku. Mereka tidak jarang adalah tokoh dan lembaga yang kuat (powerful).
TOPO SANTOSO, Dosen FH UI
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 10 Februari 2018