Salah satu kekhawatiran dalam pemilihan kepala daerah serentak gelombang ketiga ini adalah semakin maraknya politik uang.
Tamat sudah era kerahasiaan bank saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1/2017 disahkan menjadi UU Nomor 9/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, pada 23 Agustus 2017. Bagaimana bank harus menyikapi aturan anyar itu?
Lahirnya UU tersebut terkait dengan perjanjian pertukaran informasi keuangan otomatis atau automatic exchange of financial account information (AEoFAI) yang didukung sepenuhnya oleh negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), termasuk Indonesia.
Pada 16 Januari 2018, Dewan Etik Mahkamah Konstitusi sudah menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan terhadap Hakim Konstitusi Arief Hidayat, yang terbukti menemui politisi dan anggota DPR RI pada November 2017. Pertemuan tersebut ditengarai berkaitan dengan pemilihan Hakim Konstitusi perwakilan DPR RI dan pemilihan Ketua MK.
Menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, isu mahar politik kembali mencuat. Praktik inilah yang membuat biaya pilkada menjadi mahal dan menghasilkan pemimpin daerah berkualitas rendah. Namun pungutan semacam mahar politik ini tidak hanya terjadi sekarang. Dalam sejarah Indonesia, cara-cara seperti itu sudah lama terjadi dalam pemilihan kepala desa di Jawa. Koran-koran kolonial yang terbit pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 banyak menyoroti praktik-praktik kotor penyuapan dan jual-beli suara dalam banyak kasus pemilihan kepala desa.
Setelah dilantik, ketua DPR yang baru, Bambang Soesatyo, menyampaikan beberapa rencana kebijakan sebagai orang nomor satu di legislatif. Dua di antaranya adalah menambah kursi pimpinan DPR dan mengakhiri kerja panitia khusus hak angket KPK (Kompas, 16/1/2018).
Menarik membaca lebih serius pernyataan Ketua DPR itu soal merampungkan tugas pansus angket—tentunya dengan tidak menafikan penambahan kursi pimpinan DPR di akhir periode—dan menelaahnya dari kacamata politik hukum ketatanegaraan.
Akhir 2017, dalam pertemuan tentang rencana strategis Mahkamah Konstitusi, Ketua MK Arief Hidayat menegaskan pentingnya meningkatkan kepercayaan publik. Hal itu disampaikannya secara berulang di hadapan para pejabat dan pegawai MK yang hadir, termasuk saya.
Kamis, 11 Januari 2018, tepat sembilan bulan pasca penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan. Selama kurun waktu itu pula belum ada titik terang atas hasil pengusutan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sejak insiden terjadi, Kepolisian memang tidak berdiam diri, beberapa langkah telah diambil seperti yang pernah dipaparkan media Tempo.
Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi sejatinya tak boleh disandang orang dengan kualifikasi biasa-biasa saja. Jabatan mahapenting itu seharusnya berada di pundak mereka yang memiliki integritas dan kompetensi yang tidak disangsikan sedikit pun.
Masalah imunitas advokat dan tindakan menghalang-halangi pengadilan (”obstruction of justice”) kembali mengemuka menyusul penetapan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto, dan dokter Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka ”obstruction of justice” dalam perkara korupsi KTP elektronik dengan tersangka Setya Novanto.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap dan menahan Fredrich Yunadi, mantan kuasa hukum Setya Novanto. Peristiwa ini tidak hanya menjadi kejutan awal tahun, tapi juga telah mencoreng citra advokat yang dianggap sebagai profesi terhormat (officium nobile).