Peta Bumi Korupsi

Dalam beberapa diskusi sering terlontar pertanyaan dan pernyataan: mengapa setelah Komisi Pemberantasan Korupsi gencar melakukan penindakan dan operasi tangkap tangan, korupsi tidak juga berkurang? Bahkan, tak sedikit yang berpendapat, KPK gagal meredam korupsi karena tindak kejahatan kemanusiaan itu tetap berlangsung masif.

Pernyataan itu bukan saja tidak relevan, melainkan juga mengingkari das sein dan das sollen sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tujuh argumen untuk mematahkan pernyataan tersebut.

Pertama, payung hukum pemberantasan korupsi tak memadai. Indonesia telah meratifikasi UN Convention Against Corruption (UNCAC), tetapi banyak klausul korupsi yang belum terjamah dalam UU Antikorupsi. Misalnya: penyogokan kepada pegawai asing dan swasta, penggelapan di sektor swasta, pencucian dan penyembunyian hasil korupsi, serta praktik-praktik memengaruhi proses peradilan. Selain itu, swasta nasional, lembaga swasta internasional, dan organisasi nonprofit di Indonesia juga belum terjangkau UU Antikorupsi.

Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi transaksi mencurigakan senilai Rp 747 triliun pada 228 rekening bank dan lembaga keuangan milik 19 orang yang diduga merupakan kegiatan pencucian uang dari hasil korupsi dan praktik ilegal lainnya. UNCAC menyebut, pencucian uang hasil kegiatan ilegal (korupsi, narkoba, perdagangan manusia, penjarahan bangkai kapal, dan lain-lain) merupakan kejahatan transnasional yang merongrong banyak negara.

Kedua, dukungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif lemah dan sering kali justru menihilkan pemberantasan korupsi. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran belum sepenuhnya mengakomodasi skema anti-fraud. Legislatif acap kali berupaya memperlemah KPK. Putusan pengadilan atas terpidana korupsi tergolong sangat rendah, rata-rata kurang dari tiga tahun (ICW, 2017).

Ketiga, Pakta Integritas tak mengejawantah dalam operasi seluruh siklus penganggaran. Perencanaan masih membuka celah penyimpangan. Selain peran pengawasan internal lemah, target belanja lebih fokus pada keberhasilan serapan anggaran, bukan manfaat dan utilitas program.

Gerakan Antikorupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi kepada KPK tegas menyimpulkan bahwa megakorupsi KTP elektronik bisa disebut sebagai contoh paling jelas desain perencanaan yang disengaja gagal. Kegunaan dan spesifikasi KTP-el cuma setara tiket pesawat atau kereta api, tak aman, dan akan terus menguras keuangan negara. Kapasitas memori rendah dan tidak open platform, membuat KTP-el tidak kompatibel bagi penyempurnaan aplikasi lebih lanjut untuk berbagai keperluan, seperti perpajakan, pendataan pemilu, subsidi dan bantuan untuk kaum miskin, serta aneka kepentingan berbasis data kependudukan yang aman, sahih, dan valid.

Keempat, jangkauan operasi KPK sangat terbatas. Sampai akhir 2017, jumlah penyelidik KPK 56 orang dan penyidik hanya 93 orang (45 penyidik tetap serta 48 penyidik ”pinjaman” Polri dan kejaksaan), penuntut umum 83 orang. Bandingkan dengan puluhan ribu aparat penyelidik dan penyidik pada institusi kepolisian dan kejaksaan dengan jaringan organisasi sampai tingkat kabupaten/kota. Perbedaan itu makin mencolok dengan mencermati alokasi anggaran untuk ketiga institusi penegak hukum itu. Pada APBN 2018, anggaran untuk kepolisian mencapai Rp 95 triliun dan kejaksaan Rp 6,4 triliun, sedangkan KPK hanya Rp 790 miliar.

Kelima, sistem politik dan model demokrasi memberikan peluang besar terjadinya korupsi. Praktik politik uang telah membudaya sehingga membentuk korupsi sistemik. Sangat jelas, ratusan pejabat eksekutif dan legislatif yang terjaring KPK adalah produk dari sistem politik korup.

Keenam, budaya permisif dalam bentuk suap-menyuap terus berjangkit dan belum diterapi secara efektif. Program e-budgeting semestinya terintegrasi dengan e-controlling agar transaksi tunai dan di ”bawah tangan” dapat semakin dikurangi.

Ketujuh, melembaganya model penunjukan pemimpin direksi atau komisaris BUMN atas dasar kepentingan politik yang mengabaikan aspek kapabilitas dan kepatutan. Model ini awet pada setiap rezim, mengakibatkan banyak praktik salah kelola yang merugikan rakyat/keuangan negara.

Dampak korupsi
Meski terus membaik, indeks korupsi di Indonesia stabil rendah karena pemberantasan masih terbatas pada korupsi di birokrasi. Padahal, korupsi di birokrasi hanya gejala atas praktik korupsi yang lebih luas di kancah politik, hukum, dan bisnis. Demikian pula kendati kampanye dan penindakan terhadap pelaku korupsi belum pernah segencar sekarang, banyak sektor yang belum tersentuh. Mengenali, memetakan, serta kemudian menyusun peta jalan pencegahan dan pemberantasan yang lebih mangkus dan sangkil merupakan keniscayaan.

Hasil riset UNCAC di seluruh dunia menyebutkan, korupsi berkorelasi positif dengan ketimpangan, pengangguran, dan suburnya konflik. Sebaliknya, korupsi berkorelasi negatif dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan kualitas penduduk, demokrasi, dan investasi.

Kerusakan yang ditimbulkan melemahkan peran negara dalam memberikan perlindungan kepada rakyat. Korupsi membebani generasi sekarang dan generasi mendatang. Ketika tingkat demokrasi masih rendah, korupsi cenderung tinggi.

Dari laporan kinerja KPK sepanjang 2017, terdapat 114 kasus korupsi yang diselidiki, 94 kasus berujung penuntutan dan 76 kasus di antaranya telah dieksekusi. Dengan jumlah kasus yang dilaporkan masyarakat ke KPK sedemikian banyaknya (sekitar 6.000 kasus dugaan korupsi sepanjang 2017), tampak bahwa kapasitas dan anggaran KPK tidak memadai.

Keterbatasan KPK ini semestinya mendorong kepolisian dan kejaksaan segera berbenah dan turut aktif memerangi korupsi. Tentu saja, keraguan atas integritas kedua institusi hukum itu perlu ditangani dulu secara cermat dan terukur agar tidak menimbulkan komplikasi dan ekses kontraproduktif seperti pernah terjadi di masa lalu.

Rasa keadilan
Praktik korupsi yang terus merajalela pasca-Reformasi membawa tiga petunjuk penting. Pertama, peta persoalan dan daya rusak korupsi tidak dipahami secara komprehensif sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi terpaku dan semata bersandarkan pada hukum dan ketentuan yang berlaku. Kekosongan hukum dalam pembuktian terbalik, illicit enrichment, dan deteksi awal penyalahgunaan kekuasaan, mengakibatkan praktik korupsi terus mencari celah. Rasa keadilan semakin menjauh karena penegakan hukum lemah dan gagal memberikan pelajaran serius kepada semua pihak.

Kedua, negara tidak cukup hadir dalam krisis ini dengan menyatakan dan mengejawantahkan ”darurat korupsi” melalui tindakan dan saksi tegas, terutama untuk memastikan berfungsinya efek jera dan pendayagunaan pengawasan internal. Reformasi birokrasi belum dapat meletakkan serta mewujudkan norma dasar dan adab melalui penegakan etika terukur dan dipatuhi semua pejabat publik.

Ketiga, sistem politik dan desentralisasi kekuasaan tak dilengkapi mekanisme andal untuk mencegah penyalahgunaan wewenang sehingga korupsi merebak di semua daerah. Pola perekrutan kepala daerah yang didominasi partai dan menihilkan peran serta publik menyuburkan transaksi dan kontrak politik yang tidak memihak kepentingan rakyat.

Ketiga petunjuk itu seharusnya mendorong revitalisasi hukum dan peta jalan baru agar pencegahan dan pemberantasan korupsi jadi gerakan terstruktur serta meyakinkan bahwa, di masa depan, tindak kejahatan kemanusiaan tersebut akan semakin berkurang. Diseminasi nilai-nilai antikorupsi seharusnya ditanamkan sedari dini agar generasi mendatang punya kepekaan dan kesadaran memeranginya.

Martabat bangsa ini sangat ditentukan oleh bagaimana sikap dan ketegasan moralnya terhadap korupsi. Presiden Filipina Rodrigo Roa Duterte saat berpidato memperingati setahun masa pemerintahannya, 24 Juli 2017, menyatakan perang total melawan korupsi: unexplained wealth means unexplained died. Tidak perlu ada penjelasan atas vonis hukuman mati untuk aparat negara yang memiliki kekayaan tidak wajar dan tak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hubungan ini, berikut pesan Bung Karno pada Kongres Persatuan Pamong Desa, 12 Mei 1964: ”Ada orang kaya, punya auto Impala, Mercedes, rumah, harta, dan gedungnya banyak. Kakinya tidak pernah menginjak ubin melainkan permadani indah. Tapi orang yang demikian (kaya karena korupsi) itu pengkhianat rakyat dan bangsa. Orang itu sangat rendah di mata Tuhan Yang Maha Esa.”

Suwidi Tono Koordinator  Forum ”Menjadi Indonesia” dan Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga Gerakan Antikorupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi.

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 24 Februari 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan