SILANG pendapat tentang suksesi jaksa agung dari internal (karir) atau eksternal (nonkarir) tidak penting dipertajam. Jelasnya, entah dari karir atau nonkarir, yang didambakan masyarakat saat ini adalah jaksa agung yang memiliki nyali dan kapabilitas untuk melaksanakan reformasi di tubuh kejaksaan. Yakni, berani menolak intervensi, berani menindak tegas bawahan yang tidak profesional, berani mengambil alih tanggung jawab, dan berani membela bawahan yang benar tapi teraniaya.
Pagi-pagi sekali, dua orang rekan mengirim pesan singkat (SMS). Dua-duanya mengenai tulisan Mohammad Fajrul Falaakh berjudul ”Memaknai Putusan MK” (Kompas, 24/9) yang mengomentari putusan atas pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang diajukan Yusril Ihza Mahendra.
Saling silang pendapat perihal keabsahan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung terjawab sudah, menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010 tertanggal 22 September 2010.
Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional).
LEGALITAS Hendarman Supandji sebagai jaksa agung memasuki polemik baru setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan soal masalah itu. Dikatakan membuka polemik baru karena putusan MK bersifat ambigu terhadap sah tidaknya Hendarman sebagai jaksa agung sehingga memunculkan penafsiran baru atas legalitas tersebut. Semestinya, putusan MK tegas, apakah jaksa agung itu sah atau tidak.
Press Release (Penyerahan Data Tambahan Ayat Tembakau)
Di tengah badai kritik atas pemberian grasi dan remisi bagi sejumlah koruptor, hasil seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjelma menjadi setitik air dalam gelombang badai panas yang amat panjang. Meski tidak sepenuhnya dapat menutup luka yang timbul dari pemberian grasi dan remisi, sosok Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas menghidupkan kembali asa memberantas korupsi yang telah lama memudar.
Dalam kumpulan cerita pendeknya, Pramoedya Ananta Toer bertutur tentang kesengsaraan yang dihadapi oleh rakyat Blora pada masa penjajahan dan sesudah kemerdekaan.
Pram menunjukkan betapa perubahan yang terjadi di Blora tidak membuat kehidupan rakyatnya menjadi lebih baik. Kemerdekaan hanya menciptakan perubahan bentuk kesengsaraan yang dihadapi masyarakat Blora.
Enam visi reformasi gerakan mahasiswa Mei 1998 tidak pernah tercapai. Keenam poin tersebut adalah:
Perbedaan mendasar dari kejahatan korupsi dibandingkan kejahatan kriminal lainnya terletak pada dua hal. Pertama, kejahatan korupsi identik dengan white collar crime yang artinya pelaku korupsi adalah orang-orang yang pintar, terpandang, dan memiliki posisi khusus di tengah masyarakat yang dipimpinnya.