Pengelolaan Bisnis Ketenagalistrikan Sarat Konflik Kepentingan

Peluncuran Kajian Bersama ICW dan TII terkait Tata Kelola Kelistrikan
Peluncuran Kajian Tata Kelola Kelistrikan, di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat (2/02/2023).
Peluncuran Kajian Tata Kelola Kelistrikan, di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat (2/02/2023). (Dokumentasi ICW)

Jakarta – Pengelolaan sumber daya energi khususnya di sektor ketenagalistrikan sarat konflik kepentingan. Temuan itu diungkapkan dalam diskusi peluncuran kajian ICW dan Transpareny International Indonesia (TII) yang diselenggarakan di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, awal Februari lalu, (2/2/2023).

Berdasarkan kajian bersama ICW dan TII yang dilakukan sejak akhir 2022 lalu menemukan sejumlah persoalan dalam  tata kelola ketenagalistirkan. Banyak regulasi yang saling tumpang tindih, ditambah dengan implementasi yang tidak maskimal dan transparan. Hal ini akibat dari suburnya konflik kepentingan pejabat publik yang memiliki sampingan sebagai pengusaha dengan menjadikan sektor ini sebagai komoditas bisnis.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter mengatakan bahwa potensi konflik kepentingan bagi pejabat publik pada dasarnya tidak dapat terhindarkan. Namun hal tersebut perlu dikelola dengan tepat, jika tidak, maka hal tersebut akan mendorong ke arah penyelewengan, penyalahgunaan jabatan, dan ujungnya bisa menjadi tindak pidana korupsi.

“Aturan hukumnya sudah ada, tapi kami menemukan bahwa praktik konflik kepentingan tidak dikelola dengan baik. Artinya implementasinya hanya sebatas pemenuhan administrasi atau formalitas,” kata Lalola.

Dalam konteks pemberantasan korupsi, praktik konflik kepentingan yang langgeng terjadi di Indonesia jadi salah satu faktor penyebab Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 yang anjlok 4 poin menjadi 34.

 “Permasalahan itu disebabkan masih banyaknya pemangku kebijakan yang di saat yang sama juga memiliki kerja sampingan sebagai pebisnis. Sehingga, produk kebijakan yang dihasilkan cenderung menguntungkan beberapa pihak saja,” ucap Ferdian dalam peluncuran hasil kajian berjudul “Memperkuat Regulasi Anti-Konflik Kepentingan: Studi Kasus Pebisnis di Balik Pengelolaan Sumber Daya Energi” di Kedai Tjikini, Jakarta.

Konflik Kepentingan Pejabat Publik di Balik Bisnis Ketenagalistrikan dan Fenomena State Capture Corruption

Penting ditekankan, dalam konteks saat ini, praktik konflik kepenting telah terang benderang menyasar isu pembentukan regulasi kebijakan, terutama yang menyangkut sumber daya energi. Regulasi yang dimaksud adalah revisi UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) dan Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Berdasarkan temuan Kolaisi Bersihkan Indonesia, setidaknya terdapat 25 pejabat publik yang terafiliasi dengan bisnis industri batubara. Sehingga perubahan dua regulasi tersebut, diduga kuat menguntungkan bisnis pada sektor tersebut.

Maka dari itu, menjadi hal wajar jika kemudian masyarakat menaruh curiga atas kesepakatan politik para pemangku kepentingan. Hal ini yang kemudian disebut dengan berbagai istilah, yakni  stated captured, politically captured, dan regulatory captured, .

“Kebijakan dan regulasi (di sektor Sumber Daya Alam) sendiri saya kira sudah koruptif dalam proses pembuatannya, apalagi dalam tataran implementasinya” tegas Melky Nahar, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) saat memberikan tanggapan atas hasil kajian ICW dan TII.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan