Berburu Kue Proyek dan Politik Dari Jabatan Komisaris
Ombudsman RI merilis temuan menyangkut indikasi sebanyak 397 komisaris rangkap jabatan di BUMN dan 167 di anak usaha. Data yang digunakan oleh Ombudsman tersebut merupakan data jabatan komisaris di berbagai perusahaan plat merah pada tahun 2019 yang lalu. Penting terlebih dahulu dipahami, persoalan jabatan strategis di BUMN tidak hanya bicara rangkap jabatan an sich, tapi jumlah kursi direksi dan komisaris yang tersedia di BUMN juga dianggap turut bermasalah karena tidak menggunakan rasionalisasi kebutuhan dan/atau kinerja perusahaan.
Secara definisi, Komisaris merupakan organ Persero yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan kegiatan pengurusan Persero. Undang-undang BUMN mengatur pertimbangan kelayakan seseorang menjadi komisaris sebagaimana pasal 28 Ayat (1) UU BUMN:
“Anggota Komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, memahami masalah-masalah manajemen perusahaan yang berkaitan dengan salah satu fungsi manajemen, memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha Persero tersebut, serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.”
Rangkap jabatan yang diungkapkan oleh Ombudsman tersebut tidak hanya bertentangan dengan UU 28 tahun 1999 tetapi juga dengan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti: UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Proses pengisian komisaris di BUMN cenderung mengabaikan prinsip tata kelola dan asas-asas penyelenggaraan negara yang baik berdasarkan undang-undang No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN. Sejumlah asas yang harus menjadi pedoman diantaranya asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.
Faktor Rente dan Politik
Main mata dalam pengisian jabatan komisaris di perusahaan BUMN sesungguhnya merupakan masalah laten. Harus diakui, Menteri BUMN Erik Tohir pada awal jabatannya melakukan sejumlah aksi “bongkar-bongkaran” persoalan yang terjadi pada BUMN di Indonesia. Sejumlah kasus diungkap dan sejumlah direksi yang kontroversial dicopot karena ulah gaya hidup hingga persoalan rangkap jabatan pada induk, anak hingga cucu perusahaan negara tersebut. Tapi belakangan aksi tersebut seolah lenyap, bahkan cenderung kembali kepada pola perilaku lama.
Tanpa bermaksud melakukan over generalisasi, tentu saja sejumlah figur komisaris di BUMN masih dinilai berkemampuan karena memiliki rekam jejak terkait perseroan tersebut. Akan tetapi, jumlahnya sangat banyak yang justru tidak memahami dan memiliki kompetensi perseroan. Alhasil, dalam proses pengisian jabatan komisaris yang menyimpang kita bisa melihat setidaknya ada dua pola sebagai berikut:
Penyimpangan Pengisian Komisaris
Faktor Rente
1. Komisaris dijadikan sebagai “agen” bagi elit untuk mengawal dan mengamankan proyek pada BUMN (relasi patron-client);
2. Komisaris sebagai alat tekan untuk Direksi dengan tujuan kepentingan ekonomi tertentu.
Faktor Politik
1. Akomodasi terhadap anggota partai pemerintah;
2. Akomodasi terhadap anggota timses, relawan, ormas yang berafiliasi dengan pemerintah (balas jasa);
3. Akomodasi terhadap “orang kritis” / potensial membertontak agar menjadi bungkam;
4. Akomodasi terhadap kelompok ahli yang membantu dalam pemerintahan sehingga diberikan kompensasi lainnya karena sistem penggajian negara yang terbatas.
Kesimpulan
1. Pengisian jabatan komisaris di BUMN melanggar sejumlah regulasi, mengabaikan asas penyelenggaran negara yang baik dan
2. menimbulkan banyak potensi benturan kepentingan;
Pengisian jabatan komisaris di BUMN yang menyimpang bisa dilihat dari motif ekonomi dan politik dengan kelompok penguasa.
2 Juli 2020
Indonesia Corruption Watch