Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK kembali melakukan tindakan kontroversial. Setelah aksi Ketua KPK, Firli Bahuri, memasak nasi goreng pada awal tahun 2020, dilanjutkan dengan membagi-bagikan bantuan sosial bersama mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, kini lembaga anti rasuah itu malah mengunjungi lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi kepada para napi koruptor. Tindakan ini sangat tidak berdasar dan justru memutar-balikkan logika pencegahan pemberantasan korupsi.
KPK telah menetapkan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Angin Prayitno Aji dan Kepala Subdirektorat 1 Kerja Sama Dukungan Pemeriksaan, Dadan Ramdani sebagai tersangka. Penetapan tersangka sepatutnya menjadi momentum untuk menuntaskan skandal-skandal perpajakan.
Pimpinan KPK kembali menuai kontroversi. Pada hari ini, Ketua KPK, Firli Bahuri, melantik 38 pejabat struktural yang akan mengisi pos-pos strategis di lembaga anti rasuah tersebut. Pelantikan itu menjadi tindak lanjut dari pengesahan Peraturan Komisi Nomor 7 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kelola KPK (PerKom 7/2020). Sebagaimana diduga sebelumnya, tindak lanjut dari PerKom tersebut diyakini akan memiliki implikasi serius pada beberapa aspek penting.
Tahun 2020 bukan waktu yang menggembirakan bagi pemberantasan korupsi. Pada periode ini, KPK telah kehilangan taji akibat revisi undang-undang yang melucuti kewenangan dan independensinya. Selama kurun waktu 2020, publik telah menyaksikan terbitnya berbagai kebijakan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, mulai dari pengesahan produk hukum yang kontroversial, dikeluarkannya kebijakan penganggaran yang bermasalah, hingga penanganan pandemi Covid-19 yang rawan akan penyelewengan.
Pada tanggal 9 November 2020, Dewan Pengawas mengirimkan surat kepada Indonesia Corruption Watch yang pada intinya menyebutkan bahwa Firli Bahuri dan Karyoto tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku dalam penanganan perkara OTT UNJ. Dalam surat tersebut Dewan Pengawas mendasari kesimpulannya pada empat hal, yakni:
Pada hari ini, Senin 26 Oktober 2020, Indonesia Corruption Watch melaporkan Firli Bahuri selaku Ketua KPK dan Karyoto selaku Deputi Penindakan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku ke Dewan Pengawas. Adapun latar belakang pelaporan ini berkaitan dengan kasus OTT UNJ beberapa waktu lalu. Berdasarkan petikan putusan Apz (Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK), diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya.
ICW melakukan judicial review atas UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hal ini dilakukan karena:
Satu, pembentukan UU KPK cacat formal karena tidak masuk program legislasi nasional prioritas 2019. Rapat paripurna pengesahan revisi UU tersebut pada 17 September juga tidak mencapai kuorum.
Kedua, UU KPK yang baru berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi.
Ketiga, pembahasan UU juga sama sekali tidak melibatkan KPK.