BURONAN Interpol M Nazaruddin akhirnya pulang ke Jakarta dari tempat pelarian terakhirnya di Cartagena, Kolombia. Dalam perspektif hukum, proses pemulangannya tak hanya menorehkan prestasi luar biasa (extraordinary) bagi pemerintah, termasuk Polri, Keimigrasian, dan KPK yang bekerja keras memburu dan memulangkannya. Proses itu juga telah melahirkan banyak kejutan (presedensi) fenomenal bagi hukum acara perburuan koruptor yang melarikan diri dari Tanah Air.
Umat Islam tidak boleh hanya berpangku tangan melihat korupsi yang makin menggurita dan terus meningkat di negeri ini
PERAYAAN HUT kemerdekaan RI selalu diperingati tiap tahun di samping untuk mengenang semangat perjuangan para pendiri bangsa, dimaksudkan juga untuk meneguhkan nasionalisme (kecintaan pada Tanah Air). Hari-hari ini dua semangat itu seperti kehilangan elan vitalnya sebab secara fisik tak ada lagi penjajahan atau koloni di negeri ini. Karena itu untuk membangkitkan semangat yang terkandung di dalamnya, guna menginspirasi generasi setelah 66 tahun kemerdekaan perlu ditemukan makna barunya yang lebih adaptif dengan isu-isu kekinian.
Tantangan berat menghadang para pimpinan KPK untuk bisa menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan M Nazaruddin.
Tantangan dimaksud bukan sekadar teror biasa, tapi sudah menjurus pada ancaman pembunuhan. Adanya ancaman penghilangan nyawa kemarin disampaikan Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mantan Dirut PLN Eddie Widiono menilai dakwaan jaksa membingungkan. ”Banyak pejabat PLN yang sudah tidak menjabat lagi dituduh menerima suap, sementara pejabat yang harusnya bertanggung jawab malah tidak masuk dalam dakwaan,” ujar Eddie yang menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, kemarin.
Eddie didakwa melakukan korupsi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp46 miliar dalam proyek Costumer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya Tangerang.
Sepuluh calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjalani seleksi tahap akhir tes wawancara di kantor Kemenkumham, Jakarta, kemarin.
Tes yang dimulai sejak pagi tersebut berlangsung terbuka untuk umum. Kesepuluh capim KPK adalah Abdullah Hehamahua, Abraham Samad, Adnan Pandupradja, Aryanto Sutadi, Bambang Widjojanto, Egi Sutjiati, Handoyo Sudrajat, Sayid Fadhil, Yunus Husein, dan Zulkarnain.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) memvonis Gubernur Sumatera Utara nonaktif, Syamsul Arifin dua tahun enam bulan penjara,dan denda Rp150 juta, subsider tiga bulan kurungan karena diduga melakukan korupsi.
Kasus yang diduga kuat melibatkan Nazaruddin memasuki babak baru pasca ia diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (13/8). Sejak pesawat khusus diterbangkan dari Cartagena, Kolumbia publik berharap kebenaran terungkap, praktek mafia terbongkar, kendati bukan tak mungkin, ia berada di kekuasaan tertinggi negeri ini. Dimanapun itu. Mungkinkah? Ataukah yang terjadi justru sebaliknya, sekedar sandiwara dan pertunjukan yang lebih mirip sirkus ketimbang sebuah proses penegakan hukum yang ideal?
Melihat prosesi penangkapan Nazaruddin di Cartagena,Kolombia yang terpapar di berbagai media menyisakan pelajaran berharga bagi kita semua.
Selalu ada potret buram di balik kejahatan yang dilakukan para politisi partai politik, para diktator, para mafia, dan penjahat kerah putih lain. Skandal yang direncanakan secara sistematis, rapi, dan terorganisasi akhirnya terkuak dan menjadi bom yang memorak- porandakan seluruh karier dan kehormatan pelakunya.
Belum pernah terjadi pemulangan seorang tersangka korupsi seheboh Nazaruddin. Bayangkan, dia diburu khusus atas perintah presiden terhadap tiga menteri sekaligus Menko Polhukam, Menhukam, dan Menlu; serta perintah kepada Kapolri.
Pemulangan dilakukan oleh tim penjemput sebanyak sepuluh orang terdiri atas unsur Polri,Kemehukam,KPK, dan Kemlu.Pemulangan menggunakan pesawat carter senilai Rp4 miliar. Setiba di Tanah Air tampak seperti “gembong teroris internasional” jika melihat para pengawal dan penjemputnya dan menggunakan rompi antipeluru.