Menarik mencermati reaksi publik dan politisi atas persidangan kasus korupsi pengadaan KTP elektronik. Publik marah dan mengecam tindakan pelaku dan penerima suap dalam kasus korupsi ini.
Reaksi berbeda justru ditunjukkan politisi di DPR. Sebagian mereka membela pelaku dan penerima suap dari kalangan DPR. Bahkan, mereka menyerang balik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui pernyataan publik serta sosialisasi revisi UU KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi pada 25 April lalu secara mengejutkan menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebagai tersangka perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Syafruddin, saat menjabat sebagai Kepala BPPN, dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, salah satu debitor BLBI dan pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).
Pada 28 April 2017, DPR RI melakukan Sidang Paripurna yang salah satu materi pembahasannya adalah mengenai hak angket DPR RI terhadap KPK RI. Wacana ini sudah bergulir sejak beberapa waktu yang lalu, terutama sejak salah satu anggotanya, Miryam S. Haryani, diperiksa sebagai saksi dalam perkara korupsi KTP elektronik (KTP-el).
Mencermati Sidang Paripurna yang terjadi hari ini, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Pengambilan keputusan Tidak Sah dan sepihak
Setelah sepuluh tahun tanpa kepastian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai tersangka perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Selasa (25/4) lalu.
Korupsi dapat terjadi dimanapun, bahkan di sektor layanan publik paling dasar seperti kesehatan. Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (2017), sepanjang tahun 2010 sampai 2015, setidaknya ada 219 kasus korupsi yang melibatkan 519 pelaku dengan jumlah kerugian negara mencapai Rp 890,1 miliar dan nilai suap Rp 1,6 miliar yang ditangani oleh penegak hukum di sektor kesehatan.
Jelang hari pemungutan suara 19 April 2017, persaingan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua semakin sengit. Rilis sejumlah lembaga sigi menunjukkan elektabilitas antara kandidat yang terpaut sangat tipis. Dalam pasar politik, masing-masing kandidat dan/atau tim sukses sangat mungkin melakukan pelbagai cara untuk keluar sebagai pemenang. Kali ini, isu yang mengemuka tidak hanya dugaan kampanye yang membawa-bawa suku, ras, dan agama tertentu, tetapi juga dugaan adanya politik uang dan intimidasi terhadap pemilih.
Politik Uang