Hak Angket DPR: Enam Masalah Pembentukan Hak Angket DPR untuk KPK

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengumumkan daftar panitia khusus atau panitia angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di akhir paripurna 30 Mei 2017. Panitia angket tersebut terdiri dari 16 nama yang berasal dari lima fraksi, yaitu PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, terdapat enam persoalan dalam pembentukan panitia angket ini, yaitu:

Pertama, belum jelas keabsahan persetujuan penggunaan hak angket DPR pada paripurna 28 April 2017 lalu. Sebagaimana diketahui dan ramai dibicarakan, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berlaku tidak demokratis dan sesuai prosedur pengambilan keputusan saat memimpin rapat pembahasan usulan hak angket. Palu paripurna diketuk ditengah teriakan interupsi anggota DPR yang tidak setuju terhadap penggunaan hak angket DPR. Anggota tidak diberikan waktu sebagaimana mestinya untuk menyampaikan pandangannya. Akibatnya, terdapat anggota dari tiga fraksi, yakni Gerindra, PKB, dan Demokrat yang melakukan aksi walk out pada saat itu.

Kedua, materi penyelidikan dalam hak angket DPR memuat point-point yang dapat mengintervensi proses penegakan hukum yang tengah berjalan saat ini, yaitu penanganan kasus korupsi KTP Elektronik (E-KTP). Langkah DPR menggunakan hak angket ini patut dilihat sebagai wujud arogansi DPR atas proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. Hal tersebut mengingat wacana penggunaan hak angket KPK berawal dari desakan komisi III kepada KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani, kolega DPR dari Fraksi Hanura.

Ketiga, materi penyelidikan dalam hak angket DPR tersebut memuat point yang dapat bertentangan dengan Pasal 17 huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tergolong pada informasi yang dikecualikan. Sedangkan dalam penggunaan hak angket, panitia angket akan memanggil pihak terkait. Pihak yang dipanggil tersebut wajib hadir dan memberikan keterangan dan dokumen yang diminta panitia angket. Padahal, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, angket DPR terhadap KPK ini memuat point yang bersinggungan dengan penanganan kasus E-KTP.

Keempat, terdapat lima fraksi yang hingga nama-nama panitia angket diumumkan secara resmi oleh Wakil Ketua DPR belum menyerahkan nama perwakilan. Lima fraksi tersebut adalah Demokrat, PKS, Gerindra, PAN, dan PKB. Hal ini menunjukkan bahwa panitia angket tidak terdiri atas semua unsur fraksi DPR atau tidak sesuai dengan pasal 201 UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “keanggotaan panitia angket terdiri atas semua unsur fraksi DPR.” Hingga saat ini, PKS dan Partai Demokrat menyatakan tidak akan mengirim wakilnya sebagai anggota panitia angket.

Daftar Nama Panitia Angket

  • Fraksi

    Nama Perwakilan

    PDIP

    Masinton Pasaribu (DKI Jakarta)

    Eddy Kusuma Wijaya (Banten)

    Risa Mariska (Jawa Barat

    Adian Yunus Yusak (Jawa Barat)

    Arteria Dahlan (Jawa Timur)

    Junimart Girsang (Sumatera Utara)

    Golkar

    Bambang Soesatyo (Jawa Tengah)

    Adies Kadir (Jawa Timur)

    Mukhamad Misbakhun (Jawa Timur)

    John Kennedy Azis (Sumatera Barat)

    Agun Gunanjar (Jawa Barat)

    PPP

    Arsul Sani (Jawa Timur)

    Anas Thahir (Jawa Timur)

    Nasdem

    Taufiqulhadi (Jawa Timur)

    Ahmad HI M. Ali (Sulawesi Tengah)

    Hanura

    Dossy Iskandar (Jawa Timur)


Kelima, pembentukan panitia angket sarat dengan konflik kepentingan. Diantara nama perwakilan panitia angket, Agun Gunanjar dari Golkar, disebut dalam dakwaan kasus E-KTP sebagai pihak yang diuntungkan dalam perkara tersebut. Selain itu, Masinton Pasaribu dari PDIP merupakan pihak yang dalam kesaksian Novel Baswedan di persidangan tanggal 30 maret 2017 disebut sebagai salah satu pihak yang menekan saksi Miryam S. Haryani untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang.

Keenam, pembentukan panitia angket berpotensi menimbulkan kerugian negara akibat adanya pembiayaan panitia angket yang dibentuk melalui proses yang cacat hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 202 ayat 1 dan 2 UU MD3, panitia angket beserta penentuan biaya panitia angket ditetapkan melalui keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara. Segala biaya yang timbul dari pembentukan panitia angket dan proses penyelidikan bersumber dari anggaran DPR.

Simpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan catatan diatas, ICW menilai bahwa pembentukan panitia angket yang telah diumumkan oleh DPR tidak sah karena tidak sesuai dengan Pasal 201 UU MD3 dan langkah DPR melanjutkan penggunaan hak angket akan bertentangan pula dengan proses penegakan hukum serta bertentangan dengan Pasal 17 huruf a UU KIP. Oleh karena itu, ICW mendesak:

  1. DPR mencabut pembentukan panitia angket yang telah dibacakan pada paripurna 30 Mei 2017 dan menghentikan tindak lanjut penggunaan hak angket karena melalui proses yang cacat hukum.

  2. Fraksi-fraksi di DPR untuk tidak mengirimkan perwakilannya sebagai panitia angket.

  3. DPR untuk menunjukkan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi dan menghormati proses penegakan hukum yang sedang berjalan.


Jakarta, 31 Mei 2017

Indonesia Corruption Watch

Cp:

Donal Fariz – Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW (0852 63728616)

Tama S. Langkun – Koordinator Divisi Hukum & Monitoring Peradilan ICW (0811 9937669)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan