Pada 30 September 2025, Indonesia Corruption Watch memublikasikan pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi tahun 2025. Hasilnya, kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani kasus korupsi di tahun 2024 menurun drastis. Sepanjang tahun 2024, ICW menemukan 364 kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) yang disidik oleh APH, yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK. Terdapat penurunan 427 kasus atau 54 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Adapun jumlah tersangka yang berhasil diungkap sejumlah 888 orang.
Akhir-akhir ini saya sering berkunjung ke rumah sakit untuk mengantar Bapak berobat. Di ruang tunggu rumah sakit, saya kerap mendengar keluhan para pasien lain: ada yang mengaku BPJS bantuan iuran pemerintahnya tiba-tiba tidak aktif, ada pula yang khawatir jika iuran BPJS akan segera naik. Beberapa waktu sebelumnya, saya juga mendapat kabar bahwa beasiswa yang selama ini ditunggu suami untuk melanjutkan pendidikan ternyata ditiadakan. Rangkaian kabar buruk ini datang silih berganti, jaraknya pun tidak terlalu jauh satu sama lain.
Demokrasi hari ini kerap dipuja sebagai puncak peradaban politik. Namun, di balik jargon “kedaulatan rakyat” dan pemisahan kekuasaan ala trias politica, yang tampak justru wajah absolutisme modern. Eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seharusnya saling mengontrol justru menjelma menjadi kartel kekuasaan yang saling melindungi. Demokrasi dipertontonkan sebatas ritual lima tahunan: kotak suara, bendera partai, dan slogan murahan.
Erving Goffman dalam teori dramaturginya melihat kehidupan sosial layaknya panggung teater. Ada aktor utama, penonton, naskah, dan panggung depan serta belakang. Demokrasi Indonesia hari ini persis seperti itu. Elite tampil gagah di depan publik dengan jargon “kedaulatan rakyat”, sementara di belakang layar sibuk berbagi proyek. Rakyat hanya diminta ke bilik suara sebagai figuran, sementara aparat menjadi penjaga panggungnya.
Demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Apa yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah sekadar dinamika politik biasa, melainkan sebuah regresi atau kemunduran sistematis yang mengancam pilar-pilar fundamental yang telah susah payah dibangun sejak era Reformasi. Berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas demokrasi kita terus menurun, sebuah tren yang didorong oleh tindakan pemerintah dan manuver elit politik yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan pragmatis ketimbang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
“Korupsi punya andil besar dalam merampas hak hidup orang. Ia merampas begitu banyak kemampuan untuk melayani kehidupan masyarakat.” Demikian tegas Mas Alvin dari Transparency International Indonesia (TII) pada kuliah umum yang saya ikuti. Ia mengingatkan saya pada destruktifnya daya rusak di balik tindak korupsi. Saya menyadari bahwa korupsi menghasilkan monetary loss.
Kondisi politik di Indonesia saat ini dapat dipahami sebagai “permainan elite”, di mana permainan ini hanya dikuasai oleh elite-elite semata. Representasi dalam pemerintahan merupakan sebatas formalitas dan topeng untuk mengelabui rakyat. Tak hanya itu, minimnya representasi dari setiap kelompok masyarakat menambah bukti bahwa politik di Indonesia merupakan permainan mereka.
Negara yang seharusnya menjadi penopang keadilan dan kehormatan rakyat kini retak oleh praktik kekuasaan yang menggerogoti nurani publik. Negara yang secara formal mengakui Pancasila justru memperlihatkan borok-boroknya. Ritual kebrutalan yang sistematis berubah menjadi jalan gelap pemerintah dalam mengelola negara. Demokrasi di Indonesia semestinya menyediakan ruang dialog, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Namun, realitasnya kerap dikebiri oleh kekuasaan yang memonopoli narasi.