Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Kamis pekan lalu, mendakwa Bimanesh Sutarjo, dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta, karena merintangi penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP (obstruction of justice). Kasus ini melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR.
Ada rumor bahwa Presiden Jokowi tak bersedia mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3). Padahal, undang-undang itu sudah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.
Sikap Presiden ini mengingatkan pada pemikiran George Jellinek (1851-1911), ahli tata ketatanegaraan Jerman yang mengklasifikasi negara menjadi dua, republik dan monarki. Negara disebut republik apabila undang-undang dibuat oleh suatu dewan. Sedangkan negara disebut monarki bila satu orang saja yang bisa membentuk undang-undang.
Bilang sama gubernur dan wali kotamu itu: Mapugada!” Apa tuh Bang, Mapugada? ”Mau penghargaan apa saja gue ada”. Itu sinisme tukang ojek pangkalan, langgananku.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah pimpinan Ahmad Heryawan dan Pemerintah Kota Bandung di bawah Ridwan Kamil memperlihatkan anomali. Mereka mendapatkan ratusan penghargaan, tetapi banyaknya penghargaan itu tidak ngefek pada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang besar untuk dana kapitasi melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tahun 2016, sebanyak 9.767 puskesmas dan fasiltas kesehatan tingkat pertama (FKTP) lainnya di seluruh Indonesia menerima dana kapitasi sebesar Rp 13 triliun. Pada 2017, dana kapitasi yang digelontorkan diperkirakan Rp 14 triliun. Rata-rata setiap FKTP akan mendapatkan dana kapitasi sebesar Rp 400 juta per tahun.
Senin, 5 Maret 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali bersidang setelah menyelesaikan masa reses. Salah satu kerja legislasi DPR yang perlu mendapat perhatian pada masa sidang mendatang adalah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). DPR menargetkan mengesahkan RKUHP menjadi Undang-Undang selambatnya pada April 2018.
Menjelang pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Agustus 2018, ruang-ruang publik dan pemberitaan belakangan ini seolah hanya dipenuhi dengan diskursus numerik elektabilitas, peta koalisi partai politik, poros dua kutub kekuasaan Jokowi dan Prabowo. Berbagai lembaga survey menyajikan angka elektabilitas dan simulasi pasangan calon presiden berdasarkan popularitas dan elektabilitas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memprioritaskan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang pada tahun 2018 ini. Namun sejumlah ketentuan yang diatur dalam RKUHP memunculkan polemik, mendapatkan penolakan banyak pihak dan dapar dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi kepala daerah tak kunjung berhenti. Silih berganti kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan saat mencalonkan diri dalam pilkada pun, kepala daerah masih nekat korupsi. Tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada, menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi.
Modus korupsi tidak banyak yang berubah. Penyalahgunaan wewenang yang berujung pada transaksi suap-menyuap merupakan bentuk korupsi kepala daerah yang paling banyak terungkap. Kasusnya juga masih itu-itu saja, seputar kewenangan yang diperjualbelikan.
Pilkada serentak 2018 telah memasuki tahap kampanye. Pada tahapan yang tergolong awal ini, sejumlah kasus yang mencoreng integritas pilkada semakin menjadi. Setelah ramai dugaan mahar politik, kini kasus korupsi kepala daerah yang ditengarai untuk pendanaan pilkada dan suap penyelenggara pemilu bermunculan.
I. Korupsi dan Kepala Daerah
Biaya politik pemilihan kepala daerah yang tinggi dianggap sebagai penyebab korupsi kepala daerah.
Pernyataan itu dianggap benar karena kompensasi atas tingginya biaya itu dicari dari sumber daya publik dan terdapat kenyataan semakin banyak pimpinan daerah dipidana akibat korupsi. Tetapi di luar itu, bagaimana peran institusi negara yang mengatur penyelenggara negara, sehingga terjadi pembiaran terhadap sumber daya publik yang dikorbankan?