Pilkada Tanpa Politik Uang

Pilkada serentak yang dilaksanakan di 171 daerah di Indonesia menyisakan pertanyaan, bisakah pemimpin di daerah ini dihasilkan tanpa harus menggunakan politik uang?

Pertanyaan ini kerap muncul di setiap pilkada karena faktanya Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) memang kesulitan mengantisipasi kegiatan politik uang baik yang dilakukan pasangan calon maupun tim sukses.

Selain dari keterbatasan sumber daya mereka untuk mengawasi jumlah pemilih yang banyak, juga terkait dengan aturan perundang-undangan yang ambigu memaknai politik uang. Tentu politik uang tidak diartikan sekadar memberikan uang kepada pemilih, lalu meminta mereka memilih calon tertentu.

Namun, lebih luas dari itu politik uang tecermin dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 7 Tahun 2015 yang membenarkannya pemberian hadiah, suvenir, cendera mata yang nilainya tidak lebih dari Rp 25.000 dalam kampanye pilkada.

Padahal, pembenaran terhadap pemberian hadiah ini juga dalam rangka memengaruhi pemilih agar mereka bersedia menerima ajakan untuk memilih calon kepala daerah tertentu. Kampanye tidak lagi berdasarkan keunggulan calon kepala daerah, tetapi hadiah yang diberikan kepada pemilih. Di sinilah letak ambigunya PKPU tersebut.

Rasionalitas berpolitik
Demokrasi elektoral yang menjadi mekanisme pemilihan pemimpin di daerah haruslah dimulai dengan penyelenggaraan yang baik. Sebab, dalam penyelenggaraan yang baik juga terdapat proses pembelajaran politik bagi masyarakat.

Jika aturan yang dibuat mengatur secara tegas dan jelas tentang suatu larangan, misalnya, politik uang, penyelenggara, peserta pilkada seperti pasangan calon dan partai politik (parpol) serta pemilih, mereka akan sama-sama menahan diri untuk tidak melanggar aturan tersebut. Sebaliknya, jika aturan itu dibuat ”abu-abu”, hal itu jelas memengaruhi kesungguhan semua pemangku kepentingan memaknai aturan tersebut.

Adakalanya pemahaman antara penyelenggara, peserta, dan pemilih dalam pilkada tidak sejalan terkait dengan aturan yang abu-abu sehingga menimbulkan keraguan dalam memutuskan laporan atau temuan kepada Bawaslu.

Misalnya, apakah yang dilakukan calon kepala daerah dengan membuka bazar murah atau memberikan uang transportasi kepada masyarakat yang nominalnya tidak melebihi Rp 25.000 itu politik uang atau tidak? Ini jelas mengundang perdebatan di antara pemangku kepentingan sehingga kesimpulannya pun menjadi abu-abu.

Akhirnya, pemaknaannya bergantung pada good will dari semua pemangku kepentingan.

Mestinya demokrasi yang baik harus dimulai dengan mengembangkan pembelajaran politik dari setiap tahapan pilkada yang dilaksanakan. Barangkali bisa dimulai dengan komitmen parpol untuk tidak menetapkan ”uang mahar” kepada peserta pilkada.  Memang secara eksplisit tidak ada parpol yang meminta uang mahar itu.

Akan tetapi, permintaan itu justru dibumbui dengan uang kampanye, uang membayar saksi, uang survei atau uang ganti sewa kantor partai. Ini baru satu tahapan pilkada.  Belum lagi tahapan yang paling krusial, yaitu kampanye dan penghitungan suara.

Jadi, mahalnya biaya pilkada dari segi penyelenggaraan tidak hanya ditanggung oleh negara, tetapi juga pasangan calon, mulai dari mencalonkan diri hingga penghitungan suara. Besarnya jumlah uang yang dikeluarkan calon untuk mendapatkan kekuasaan politik sebagai kepala daerah ini sangatlah besar. Bahkan di luar rasionalitas berpolitik untuk suatu kekuasaan yang muaranya adalah prestise jadi pejabat publik di daerah.

Masalahnya, hingga hari ini formulasi mencegah politik uang yang efektif tersebut belum juga ditemukan. Sementara modus untuk mengakali aturan perundang-undangan yang dibuat untuk memungkinkan terjadinya politik uang itu semakin menjadi-jadi.

Segera harus dimulai
Selagi pilkada ini menjadi mekanisme yang disepakati untuk memilih pemimpin di tingkat daerah, formulasi efektif mencegah politik uang ini harus sudah ditemukan.  Paling tidak ini sudah harus dimulai dengan menumpukan perhatian pada parpol. Mengapa?

Pertama, kekuatan infrastruktur politik seperti partai harus sudah mulai menguatkan kemauan politik (political will)-nya menghentikan politik uang ini dalam bentuk apa pun, khususnya pada saat menentukan calon kepala daerah.

Memang berkembang asumsi bahwa kader partai yang mendapatkan kursi menjadi anggota DPRD itu mahal. Setiap calon yang diusung partai politik juga mengeluarkan uang kampanye untuk memenangi pemilu untuk kursi DPRD.  Karena itu, tidak heran mereka juga meminta sejumlah uang untuk mengganti biaya kampanye yang telah dikeluarkan. Tentu sumber masalah ini juga harus dicarikan solusinya oleh negara.

Memang upaya positif ke arah itu sudah dilakukan oleh negara. Misalnya, pemerintah sudah mulai memikirkan bagaimana membiayai kampanye pemilu atau pilkada dengan menggunakan APBN/APBD.  Bahkan pemerintah pun sudah mulai memikirkan membantu keuangan partai politik dengan jumlah yang sangat besar.

Persoalan sekarang adalah sebelum ini dilaksanakan mestinya harus ada komitmen dari parpol untuk memperbaiki manajemen parpol sehingga menjadi lebih modern dan bertanggung jawab kepada konstituennya sehingga masalah bantuan keuangan partai ini tidak pula menjadi masalah di kemudian hari.

Kedua, menaikkan kualitas pemilih melalui pendidikan politik yang dilakukan secara berkelanjutan oleh parpol. Partai politik dengan jejaring kepengurusannya yang luas hingga ke tingkat ranting sebenarnya dapat mewujudkan pemilih yang berkualitas tersebut. Bagaimana tidak, partai jelas memiliki tokoh-tokoh lokal yang menjadi panutan masyarakat. Jika seorang kader parpol yang memiliki pemilih loyalis bisa mengajarkan untuk berpolitik rasional dan menghindari politik uang, jelas akan mengubah atmosfer pilkada di Indonesia.

Ini memang tidak mudah. Apalagi kader parpol dengan massa yang banyak bersedia mengubah relasi patron-klien yang sudah lama dibangunnya, sebab akan merugikan mereka. Namun, jika parpol yang memerintahkan kadernya untuk bersikap rasional dalam membangun relasi kekuasaan dengan konstituennya tentu akan diikuti karena ada sanksi dari parpol jika ini dilanggar.

Ketiga, ini juga terkait dengan infrastruktur politik yang lain, yaitu peraturan perundang-undangan (electoral law) yang harus dipertegas dan diperjelas untuk menghindari munculnya politik uang ini. Sepanjang aturan yang dibuat memberi ruang untuk terjadinya politik uang melalui aturan yang abu-abu, apa pun yang dilakukan parpol di atas tetap tidak akan efektif.

Oleh karena itu, ketika desain pilkada ini dibuat berdasarkan undang-undang, maka yang dibutuhkan adalah komitmen partai politik untuk menghasilkan pilkada yang berkualitas dan berintegritas.

Asrinaldi A Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas dan Peneliti Spektrum Politika Institut

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 27 Juni 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan