Menyelesaikan Skandal BLBI

Desakan bagi penuntasan kasus skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia terus disuarakan oleh berbagai kalangan.

Tulisan Emerson Yuntho berjudul ”Quo Vadis Skandal Korupsi BLBI” (Kompas, 5/6/2018) adalah salah satunya. Tidak diragukan, ajakan ini perlu diapresiasi. Namun, tentu tetap berpegang pada ketentuan atau kondisi ketika kebijakan itu dibuat pada waktu itu di awal 1997.

Sekadar membuka ingatan, tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan pada masa itu (1997) dilakukan dengan prinsip penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement), dalam bentuk perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS), perjanjian pengembalian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan jaminan aset (master settlement and acquisition agreement/MSAA), perjanjian penyelesaian BLBI dengan tambahan jaminan pribadi (master refinancing and notes issuance agreement/MRNI), dan akta pengakuan utang (APU).

Bayangkan, seandainya tidak ada kebijakan BLBI dan program rekapitalisasi. Adakah alternatif kebijakan lain dalam menyehatkan bank-bank ketika terjadi krisis perbankan pada 1997, dengan dana sebesar Rp 640,9 triliun? Rinciannya, untuk program BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan program rekapitalisasi Rp 422,6 triliun.

Jika tidak dilakukan kebijakan BLBI dan rekapitalisasi bank- bank, bisa dipastikan kita tidak akan memiliki Bank Mandiri, BNI, BRI, dan BTN. Semua bank itu yang mereguk dana rekap terbesar. Demikian pula, tentu kita tak akan punya BCA, Danamon, Permata, CIMB Niaga, dan sejumlah bank pembangunan daerah (BPD).

Bank-bank hasil rekap itu kini menjadi bank pendorong pertumbuhan ekonomi lewat pemberian kredit dan menjadi kontributor besar dalam menyumbang kas negara untuk bank- bank BUMN. Tentu bank-bank itu kontributor dalam membayar pajak, baik pajak simpanan maupun pajak yang timbul akibat pergerakan ekonomi yang didorong oleh perbankan.

Kasus BLBI sudah memasuki tahun ke-21 sejak dikucurkan pada 1997. Kasus ini menjadi menarik karena persidangan terhadap Syafruddin A Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pertengahan Mei 2018, di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Syafruddin A Temenggung didakwa melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu obligor BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada 2004. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan dugaan kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 4,58 triliun.

Tiga tahap BLBI
Sejak pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan Megawati Soekarnoputri telah membuat kebijakan penyehatan perbankan. Pada masa pemerintahan Soeharto dibentuk BPPN pada Januari 1998, yang dalam perkembangannya bertugas untuk (1) menyehatkan dunia perbankan, (2) mengembalikan dana negara, serta (3) mengelola aset-aset yang diambil alih oleh pemerintah.

Program rekapitalisasi perbankan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi perbankan dilakukan pada masa BJ Habibie berkuasa. Lalu era Gus Dur terbentuklah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 177 Tahun 1999 yang memberikan pedoman kepada BPPN.

Pada 2000 disahkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian penalti kepada obligor yang tidak kooperatif.

Sejak 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan-kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan— terutama terkait pengambilalihan aset-aset obligor serta penjualan aset. Ditetapkan Tap MPR X/2001 dan Tap MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas.

Bicara tentang BLBI, ada tiga tahap, yaitu tahap penyaluran, penggunaan, dan penyelesaian BLBI. Oleh karena itu, dalam melihat persoalan BLBI, harus dibedakan pada tahap mana. Sementara hal lain adalah penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) di BPPN. Adalah tidak adil jika melihat BLBI secara dicampur aduk. Seolah-olah semua kasus BLBI adalah korupsi. Padahal, pemerintah sendiri sudah membuat kebijakan. Siapa yang kooperatif mendapat insentif dan yang tidak kooperatif mendapat penalti.

PKPS dan SKL
Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), 30 November 2006, penyelesaian BLBI di BPPN dengan Bank Pembuat PKPS, ada bank yang tidak kooperatif, (tidak bayar dan tidak membuat PKPS), bank tidak selesai (tidak bayar dan tidak selesai), bank bayar tunai, tidak membuat PKPS dengan alasan tertentu, belum lunas (bayar sebagian), bank membuat Perjanjian Kewajiban Pemegang Saham-Surat Keterangan Lunas/PKPS-SKL (BCA, BDNI, BUN, dan Bank Surya, serta 13 bank lainnya).

Pola penyelesaian MSAA yang meliputi obligor Anthony Salim, Sjamsul Nursalim, M Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risyad telah menyelesaikan kewajiban PKPS. Jika dilihat dari audit BPK No 4/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006 atas SKL 21 obligor, BPK berpendapat bahwa PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan SKL telah sesuai dengan kebijakan pemerintah, Inpres No 8/2002 dan kebijakan KKSK, serta layak diberikan kepada obligor bersangkutan.

Nah, khusus untuk PKPS BDNI, BPK berpendapat bahwa SKL tersebut layak diberikan karena pemegang saham BDNI telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam penjanjian MSAA dan perubahannya, serta telah sesuai dengan kebijakan pemerintah dan Inpres No 8/2002.

Jadi, tulisan ini setuju dengan Emerson Yuntho yang mengajak untuk menyelesaikan BLBI bagi obligor yang tidak kooperatif, tidak melunasi, tidak membayar, tidak membuat PKPS. Itu harus dilakukan ramai-ramai. Namun, untuk memberikan kepastian hukum, meski kita tidak setuju, tetapi karena obligor sudah menyelesaikan kewajibannya berdasarkan MSAA, semestinya kasus Syafruddin A Temenggung, mantan Ketua BPPN yang didakwa merugikan negara Rp 4,58 triliun akibat memberikan SKL kepada Sjamsul Nursalim (BDNI), perlu dicermati layak tidaknya disidangkan.

Jangan sampai yang sudah kooperatif masih diseret-seret, sementara yang tidak kooperatif masih tertawa dengan lincahnya ”bermain-main”. Jangan sampai Indonesia penuh ketidakpastian, selalu melihat masalah masa lalu dengan horizon sekarang. Pahit memang pil dalam menyelesaikan krisis dengan BLBI ini, tetapi itulah cara agar ekonomi bisa bergerak dan sistem perbankan bisa berjalan kembali sampai sekarang.

Eko B Supriyanto Direktur Biro Riset InfoBank

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 27 Juni 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan