Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menyerahkan terpidana kasus suap gula impor, Irman Gusman, ke penjara Sukamiskin, Bandung, Kamis pekan lalu. Pada 20 Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan sejumlah denda terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. Hakim juga mencabut hak politik Irman, sehingga Irman tidak bisa dipilih untuk jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani hukuman pidana pokok.
Pada kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan pihak Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan sejumlah anggota DPR, telah ditetapkan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan petinggi Kementerian Dalam Negeri itu telah mengajukan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama.
Keuntungan apa yang diperoleh JC? Apa kepentingan penegak hukum memberikan status JC bagi pelaku?
Sorotan utama dan dominan dalam pelbagai kasus korupsi, termasuk dugaan penyelewengan dana KTP-el yang melibatkan politisi beberapa parpol besar, adalah pemerintah dan KPK.
Selama satu dekade terakhir sektor politik masih menjadi salah satu lembaga yang dipersepsikan paling korup di Indonesia.
Setidaknya itulah salah satu pesan penting dan kembali dimunculkan oleh Transparency International (TI) di dalam laporan Global Corruption Barometertahun 2017 (7/3).
Dua kali tertangkap tangan oleh KPK, sistem pengawasan terhadap hakim Mahkamah Konstitusi dipertanyakan. Ada anggapan umum bahwa hakim MK enggan diawasi.
Ide memperkuat pengawasan terhadap MK selalu muncul ketika MK dirundung masalah. Namun, gagasan ini selalu menemui jalan buntu. Sebab, MK selalu menolak berbagai ide pengawasan sehingga MK nyaris menjadi lembaga yang nir-pengawasan.