Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 30 Nov-4 Des 2015
Skandal Bantuan Sosial
Program bantuan sosial kembali dipersoalkan. Menjelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung serentak, sejumlah provinsi dan kabupaten/kota ramai-ramai meningkatkan alokasi anggaran untuk program tersebut. Bahkan ada yang mencapai 1.884 persen seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri 23 tahun 2011, bantuan sosial merupakan pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Bansos bukan merupakan program wajib dan bisa alokasikan apabila urusan wajib daerah seperti pendidikan dan kesehatan telah terpenuhi.
Namun memasuki Pilkada langsung, banyak daerah yang justru menaikan alokasi Bansos hingga beberapa kali lipat. Malah ada daerah yang sudah menambah anggaran dua tahun sebelum Pilkada. Kenaikan tersebut diyakini merupakan bagian dari strategi petahana untuk memenangkan pemilihan.
Bansos biasanya digunakan untuk dua tujuan. Pertama, meningkatkan popularitas. Caranya dengan menyediakan banyak alokasi bantuan dan membagi-bagikan ke berbagai lembaga sosial kemasyarakatan seperti pengajian, rumah ibadah, dan fasilitas umum. Petahana atau tim sukses akan mengklaim bantuan berasal darinya. Tujuan kedua untuk kepentingan modal politik. Modusnya dengan membuat lembaga fiktif, memotong alokasi, atau menyalurkan bantuan kepada lembaga milik keluarga dan tim sukses petahana.
Ada tiga cara untuk mencegah agar Bansos tidak diselewengkan dan digunakan untuk kepentingan pemenangan petahana. Pertama, memaksa agar pemerintah daerah mengumumkan lembaga atau individu penerima bantuan, berikut alamat lengkap dan alokasi anggarannya. Hal tersebut akan memudahkan warga untuk mengawasi, menelusuri, dan memastikan para penerima sesuai dengan aturan.
Kedua, melaporkan kepada penyelenggara pemilihan apabila dana Bansos digunakan untuk kepentingan pemenangan. Sebab kandidat kepala daerah dilarang menggunakan sumber daya negara dalam memenagkan pemilihan. Pada sisi lain, apabila dana dikorupsi seperti disalurkan ke lembaga fiktif atau alokasi anggaran dipotong, warga bisa melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Ketiga, mendesak agar Kementrian Dalam Negeri mengeluarkan aturan moratorium program Bansos minimal satu tahun menjelang penyelenggaraan pilkada. Tertutupnya celah bagi kandidat kepala daerah khususnya petahana untuk menggunakan sumber daya negara bagi kepentingan pemenangan, akan membuat Pilkada langsung lebih jujur, adil, dan berintegritas.***
Lagi, Ancaman Lewat Revisi Undang – Undang KPK
Masa depan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akan kembali dipertaruhkan. Badan Legislasi DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mempercepat revisi UU KPK (Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002) dengan menjadikan revisi ini sebagai inisiatif DPR. Pernyataan resmi pemerintah untuk merevisi UU KPK, kali ini terlontar dari mulut Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pertanyaan pentingnya, apakah revisi ini benar – benar untuk menguatkan, atau justru akan melemahkan posisi KPK?
Menurut Wakil Ketua KPK Indriarto Seno Adji, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat terkesan memaksakan pembahasan revisi UU KPK pada akhir tahun ini. Padahal sudah ada komitmen KPK dengan pemerintah bahwa pembahasan revisi akan dilakukan tahun depan. Selain itu, pemerintah juga berjanji bahwa perubahan pasal tetap mengacu pada draf usulan yang telah disiapkan KPK. Poin utamanya, Presiden berjanji bahwa UU KPK yang sudah ada tetap dipertahankan eksistensi dan kewenangannya. Sedangkan revisi hanya dalam rangka penguatan saja.
Berdasarkan catatan ICW (Indonesia Corruption Watch), kegigihan untuk merevisi UU KPK bukanlah yang pertama. Sebelumnya, upaya serupa pernah dilakukan pada juni 2015 dan oktober 2015. Menurut Menkopolhukham Luhut Panjaitan, dia setuju dengan Revisi UU KPK. Revisi akan terbatas pada 4 (empat) isu krusial yaitu : Dewan Pengawas KPK, Pengangkatan penyelidik/Penyidik internal, kewenangan penghentian penyidikan dan pengaturan mengenai penyadapan. Jika benar keempat issue tersebut akan menjadi epicentrum pembahasan, maka potensi pelemahan KPK mendekati kenyataan.
Melihat iklim politik saat ini, dimana banyak anggota DPR yang diproses oleh KPK. Rasanya tidak mungkin DPR memiliki semangat memperkuat KPK. Data ICW menyebutkan, sekurangnya 82 politisi dari berbagai Partai Politik pernah atau sedang dijerat oleh KPK. Sehingga, menolak revisi UU KPK merupakan pilihan yang tepat pada situasi sekarang.
Ada beberapa alasan yang menjadi dasar penolakan terhadap revisi UU KPK. Pertama, subtansi RUU KPK versi DPR melemahkan posisi KPK. Beberapa bentuk pelemahan tersebut di antaranya adalah, hapusnya keweanangan penuntutan KPK, pembatasan masa kerja KPK hanya 12 tahun, KPK hanya bisa menangani perkara korupsi dengan potensi kerugian negara Rp 50 miliar ke atas, KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan negeri untuk melakukan penyadapan terhadap terduga koruptor.
Kedua, rentang waktu pembahasan revisi yang sangat singkat. DPR menargetkan penyelesaikan pembahasan pada akhir desember 2015. Itu artinya, waktu yang tersisa untuk melakukan pembahasan hanya tinggal hitungan hari. Sehingga proses pembahasan dipastikan akan tergesa – gesa. Jika dipaksakan, kemungkinan DPR untuk membahas revisi ini secara “asal – asalan” sangat besar.
Dan ketiga, pengusulan RUU KPK tanpa disertai dengan Naskah Akademik. Padahal Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mewajibkan adanya Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Tanpa adanya Naskah Akademik, maka proses legislasi RUU KPK dapat dikatakan cacat prosedural dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Persoalan sebenarnya tidak hanya datang dari DPR. Sikap pemerintah yang labil dan seolah mendua, membuat revisi UU KPK ini maju mundur. Untuk menyelamatan agenda pemberantasan korupsi yang lebih besar, butuh ketegasan pemerintah untuk menolak revisi UU KPK. Jika pemerintah konsisten pada janjinya, maka malapetaka dikemudian hari akibat revisi UU KPK bisa dihindari. ***
RINGKASAN BERITA
-
Politisasi guru marak terjadi setiap penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. antikorupsi.org/ZqX
-
Hasil temuan survei pandangan masyarakat terhadap keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi. antikorupsi.org/Zq2
-
Lima alasan revisi UU KPK harus ditolak. antikorupsi.org/Zqu
UPDATE STATUS
30 November
-
Wakil Gubernur Sumatera Utara, Tengku Erry Nuradi, diperiksa sebagai saksi terkait dana hibah dan bantuan sosial (bansos) Provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2013.
-
Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri melimpahkan barang bukti dan tersangka kasus dugaan korupsi uninterruptible powers supply (UPS) pada APBD-P DKI Jakarta 2014, Zaenal Soleman, ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat.
-
Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, Richard Joost Lino, diperiksa sebagai saksi atas kasus dugaan korupsi pengadaan 10 mobile crane di PT Pelindo II.
1 Desember
-
KPK menetapkan Edison Marudut Marsadauli Siahaan (EMMS), Direktur PT Citra Hokai Triutama, sebagai tersangka baru kasus dugaan suap kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun.
-
Permohonan uji materi KUHAP Otto Cornelis Kaligis ditolak MK. OC Kaligis menngigat pasal yang berkaitan dengan penetapan dirnya sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus penyuapan hakim PTUN Medan.
-
Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Cut Meutia (RSUCM) Lhokseumawe, drg. Anita Syafridah, dihukum pidana penjara empat tahun, denda Rp200 juta, subsider enam bulan kurungan penjara terkait kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (Alkes) RSUCM dengan kerugian negara Rp2,1 miliar.
-
Kepala Divisi VII PT Adhi Karya, Dono Purwoko, diperiksa KPK terkait kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Udayana.
-
KPK menangkap dua anggota DPRD Banten dan seorang direktur PT Banten Global Development dalam operasi tangkap dengan dugaan menerima suap terkait dengan pembentukan Bank Pembangunan Daerah Banten.
2 Desember
-
Seniman Betawi, Mandra Naih, dituntut hukuman 18 bulan penjara dengan denda Rp 100 juta karena perbuatan menyalahgunakan wewenang yang melekat pada jabatannya selaku Direktur Utama PT Viandra Production.
-
I Ketut Kurniawan divonis dua tahun penjara karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dengan cara menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri sebesar Rp104 juta dan orang lain terkait kasus LPD Kerta.
3 Desember
-
KPK menetapkan tiga tersangka kasus dugaan suap pembentukan bank daerah Banten.
-
Novel Baswedan mendatangi kantor Bareskrim Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan atas kasus penganiayaan terhadap tahanan pencuri sarang burung walet.
-
Novel Baswedan menjalani proses pelimpahan tahap dua di Bengkulu terkait kasus penganiayaan terhadap tahanan pencuri sarang burung walet.
4 Desember
-
Jaksa penuntut umum KPK mendakwa Direktur Utama PT Traya Tirta Makassar, Hengky Wijaya, melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan memperkaya diri sehingga merugikan negara sebesar Rp45 miliar.
-
Mantan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Syamsir Yusfan, dihukum 3 tahun penjara tanpa denda oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
-
Kepolisian Daerah Riau menahan dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bengkalis dan mantan anggota DPRD Bengkalis 2009-2014 karena diduga terlibat kasus korupsi dana bantuan sosial Bengkalis tahun anggaran 2012 sebesar Rp 272 miliar.
-
Badan Reserse Kriminal Polri telah melimpahkan berkas tahap satu tersangka kasus korupsi pembangunan Stadion Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat ke Kejaksaan Agung.
-
Edi Ardiansyah, terdakwa kasus korupsi uang persediaan Dinas Pendidikan (Disdik) Kukar Rp 8,4 miliar itu dituntut 10 tahun 6 bulan penjara.