Stagnasi Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Tahun 2023 “Omon-Omon Pemberantasan Korupsi Jokowi”

Sumber foto: okezone
Sumber foto: okezone.com

Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), nasib pemberantasan korupsi Indonesia kian mengkhawatirkan. Hal ini tergambar dalam Indeks Persepsi Korupsi yang baru saja diluncurkan Transparency International Indonesia. Di mana skor pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115. Jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014. Fakta ini menegaskan bahwa selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran yang signifikan.

Oleh sebab itu, merujuk pada stagnasi pemberantasan korupsi di Indonesia, ICW memetakan tujuh persoalan yang disinyalir turut menjadi faktor melemahnya IPK, yaitu:

Pertama, Presiden Jokowi lebih sibuk “cawe-cawe” dalam urusan politik, ketimbang melakukan pembenahan hukum. Seperti diketahui, saat ini Indonesia memiliki setumpuk tunggakan legislasi yang diyakini dapat menyokong agenda pemberantasan korupsi, mulai dari RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dengan menyesuaikan norma konvensi PBB Melawan Korupsi. Alih-alih dikerjakan, Presiden malah larut dengan nuansa politik dan melupakan janji politik penguatan pemberantasan korupsinya. 

Kedua, Presiden lepas tanggung jawab terhadap situasi yang amat mengkhawatirkan di KPK. Kesimpulan ini bukan tanpa dasar, sebab, Pasal 3 UU KPK baru telah meletakkan Presiden sebagai atasan administratif lembaga antirasuah itu. Jadi, setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan, Presiden harus mengambil tindakan. Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dikerjakan. Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir. 

Ketiga, proyek legislasi yang dihasilkan oleh Presiden bersama dengan DPR telah berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Misalnya, UU Pemasyarakatan (UU PAS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan substansi UU PAS melonggarkan aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi. Akibatnya, para terpidana korupsi dapat lebih cepat menjalani masa pemidanaan, seperti Pinangki Sirna Malasari, Wahyu Setiawan, atau Nur Alam. Sedangkan KUHP, hukuman penjaranya justru lebih ringan ketimbang UU Tipikor. 

Keempat, komitmen pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum semakin rendah. Sebut saja KPK, di mana tahun 2023 menjadi periode terburuk sepanjang sejarah karena Ketua KPK, Firli Bahuri, ditetapkan sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi oleh Polda Metro Jaya. Belum lagi ditambah problematika internal, baik dugaan pelanggaran kode etik maupun korupsi berjamaah puluhan pegawai KPK di rumah tahanannya sendiri. Selain itu, kepolisian dan kejaksaan juga memperlihatkan gejala yang hampir serupa. Betapa tidak, beberapa bulan lalu dua lembaga penegak hukum itu kompak menunda proses hukum yang melibatkan peserta pemilu karena khawatir dipolitisasi. Argumentasi ini jelas menunjukkan sikap yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. 

Kelima, lembaga kekuasaan kehakiman masih belum berorientasi pada pemberian efek jera saat menjatuhkan hukuman terhadap pelaku korupsi. Sepanjang tahun 2023, ada beberapa putusan janggal yang dihasilkan oleh Mahkamah Agung (MA). Misalnya, mantan Hakim Agung, Gazalba Saleh, divonis bebas pada tingkat kasasi. Selain itu, ada pengusaha kelapa sawit, Surya Darmadi, yang kewajiban pembayaran uang pengganti sebesar Rp 39,75 triliun dihapus oleh MA. Sebenarnya, rendahnya vonis pengadilan ini bukan hal mengejutkan lagi. Merujuk pada data ICW, rata-rata hukuman terdakwa korupsi sepanjang tahun 2022 hanya 3 tahun 4 bulan penjara

Keenam, di penghujung kepemimpinan Presiden Jokowi, praktik lancung berupa konflik kepentingan pejabat publik bukan hanya ditolerir, tapi seakan dianjurkan. Kepada anggota kabinetnya sendiri saja, ia justru mengambil kebijakan yang memungkinkan menteri-menterinya turut serta pada Pemilu 2024 tanpa harus mengundurkan diri. Teranyar, ia malah menegaskan bahwa dirinya dan menteri boleh berkampanye dan berpihak dalam kontestasi elektoral. Kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak jauh berbeda. Dari pemantauan ICW mulai dari November 2022 – September 2023, ditemukan bahwa sedikitnya 142 dari 263 instrumen pengawas di BUMN terindikasi rangkap jabatan. Sebagaimana diketahui rangkap jabatan merupakan salah satu bentuk nyata dari konflik kepentingan. Pada lembaga legislatif, tidak mengherankan bahwa substansi produk hukum nasional beberapa waktu belakangan cenderung berpihak pada elite dan oligark jika melihat komposisi latar belakang para politisi Senayan mayoritas merangkap sebagai pelaku usaha. Hasil penelusuran Tempo mengindikasikan dari 9.918 nama calon anggota DPR, terdapat 2.029 nama yang terafiliasi dengan korporasi. 

Ketujuh, gelombang korupsi di sektor politik kian masif belakangan waktu terakhir. Sebagai contoh, di lingkaran terdekat kabinet Jokowi saja, sudah ada 6 menteri dan 1 wakil menteri tersandung kasus korupsi, yakni, Juliari P Batubara (Menteri Sosial), Edhy Prabowo (Menteri Kelautan dan Perikanan), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Idrus Marham (Menteri Sosial), Johnny G Plate (Menteri Komunikasi dan Informatika), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Eddy OS Hiariej (Wakil Menteri Hukum dan HAM). Jumlah ini terbilang paling banyak jika dibandingkan dengan rezim pemerintahan sebelumnya.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan