Rombak Ulang Komposisi Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI: 12 Anggota Tidak Patuh LHKPN
Pada pertengahan April lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan 55 orang Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR RI ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas dugaan pelanggaran kode etik karena mereka diketahui tidak patuh dalam melaporkan LHKPN. Namun, lebih dari dua bulan pasca pelaporan tersebut praktis tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh MKD. Padahal, bukti yang diserahkan sudah terang benderang dan langsung berasal dari sumber primer, yakni laman website LHKPN KPK. Ini mengartikan MKD melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum dan etik anggota DPR.
Selang waktu berjalan, setelah dicermati lebih lanjut, ICW pun kemudian menemukan fakta baru menyangkut kepatuhan LHKPN salah satu AKD DPR RI, yakni MKD itu sendiri. Berdasarkan pemantauan, dari 17 anggota MKD, 12 orang diantaranya diketahui tidak patuh melaporkan LHKPN dalam rentang waktu 2019-2022. Ini artinya, sebagian besar atau lebih dari 70 persen mereka terbukti mengabaikan kewajiban hukum. Temuan ini bertolak belakang dengan tujuan pembentukan MKD yang tercantum dalam Pasal 119 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yakni untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat lembaga legislatif. Sederhananya, bagaimana mungkin MKD akan mampu menjalankan mandat itu jika anggotanya saja bermasalah dalam hal kepatuhan hukum.
Konteks pelanggaran hukum yang dimaksud tertera dalam Pasal 5 angka 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU 28/99) juga Pasal 4 ayat (1) dan (3) Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PerKPK 2/20). Dua aturan itu memandatkan kepada setiap penyelenggara negara, termasuk anggota DPR, untuk secara berkala melaporkan harta kekayaannya selama menjabat kepada KPK dan paling lambat dilaporkan pada tanggal 31 Maret tahun selanjutnya. Pada faktanya, peraturan yang dibuat, salah satunya oleh lembaga legislatif, justru diingkari oleh mereka sendiri.
Sedangkan indikasi pelanggaran kode etik tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal Pasal 5 ayat (2) Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR RI. Di sana disebut bahwa anggota DPR wajib mematuhi hukum dan bersedia untuk diawasi oleh masyarakat. Kepatuhan hukum dalam hal ini merujuk pada UU 28/99 dan ketidakpatuhan pelaporan LHKPN dapat pula dipandang sebagai upaya menolak pengawasan masyarakat terhadap harta kekayaannya. Kombinasi pelanggaran hukum dan etik seperti ini mestinya segera ditindaklanjuti, bukan justru didiamkan begitu saja, apalagi terjadi di nomenklatur DPR yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika.
Adapun ketidakpatuhan pelaporan LHKPN yang ICW maksud terdiri dari empat jenis. Pertama, terlambat dalam melaporkan. Bagian ini berpijak pada Pasal 4 ayat (4) PerKPK 2/20 yang menyebutkan bahwa batas akhir pelaporan LHKPN jatuh pada tanggal 31 Maret tahun selanjutnya. Kedua, tidak secara berkala melaporkan. Untuk konteks ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (3) PerKPK 2/20 terkait keberkalaan LHKPN setiap tahun selama menjabat sebagai penyelenggara negara. Ketiga, kombinasi antara terlambat dan tidak melaporkan secara berkala. Keempat, tidak melaporkan sama sekali sejak tahun 2019 sampai 2022.
Untuk merincinya,tabel kepatuhan LHKPN anggota MKD DPR RI dapat dilihat dalam lampiran laman ini.
Dikaitkan dengan pelaporan ICW terhadap puluhan Pimpinan AKD DPR RI, maka menjadi wajar jika kemudian MKD tidak menindaklanjutinya. Sebab, integritas anggotanya saja masih dipenuhi dengan permasalahan. Pasca pelaporan kala itu, Ketua MKD, Adang, pun sempat mengumbar janji akan menindaklanjuti pelaporan ICW. Namun, pernyataan itu tak pernah direalisasikan. Hingga saat ini, 55 Pimpinan AKD tersebut masih menduduki posisinya tanpa ada penjatuhan sanksi apapun dari MKD.
Dalam waktu yang tidak lama lagi, ICW akan melaporkan 12 orang anggota MKD DPR RI ke instansinya sendiri atas dugaan pelanggaran kode etik karena turut tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, dalam hal ini kepatuhan LHKPN.
Oleh sebab itu, ICW mendesak agar:
- Mahkamah Kehormatan Dewan menindaklanjuti laporan ICW terhadap 55 orang Pimpinan Alat Kelengkapan Dewan DPR RI dengan memanggil, memeriksa, dan menjatuhkan sanksi.
- Partai Politik segera mengganti anggotanya di Mahkamah Kehormatan Dewan yang diketahui tidak patuh melaporkan LHKPN.