Rangkap Jabatan Komisaris dan Dewan Pengawas BUMN: Kegagalan Pemerintah Mengelola Konflik Kepentingan
Konsiderans Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU 19/2003) telah meletakkan pondasi utama pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Aturan itu menyebutkan, dalam rangka mengoptimalkan peran BUMN, tata kepengurusan dan pengawasannya harus dilakukan secara profesional. Bukan cuma itu, kewajiban BUMN bertindak profesional juga tertuang dalam Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: Per-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada BUMN. Regulasi internal perusahaan pelat merah ini menyebutkan lima prinsip Good Corporate Governance yang harus dijadikan pedoman bagi pengelolaan BUMN, diantaranya, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran.
Sayangnya, mandat dari peraturan perundang-undangan itu diabaikan. Hal tersebut tampak dalam proses penunjukan seseorang menjadi komisaris dan dewan pengawas BUMN. Fenomena pejabat publik aktif mengemban jabatan sebagai komisaris dan dewan pengawas BUMN kian marak terjadi. Akibatnya, rentetan masalah seperti profesionalisme, loyalitas ganda, dan potensi konflik kepentingan rawan terjadi. Alih-alih dicegah, Kementerian BUMN justru membenarkan para birokrat menjadi komisaris dan dewan pengawas. Alasannya berpijak pada dua hal, yakni, tidak ada regulasi yang dilanggar dan pandangan bahwa BUMN milik negara maka aparatur sipil negara, dari segi kompetensi dan pengetahuan, menjadi pihak yang paling tepat mendudukinya. Cara pandang seperti itu jelas keliru, tak berdasar, dan mudah dipatahkan.
Indonesia Corruption Watch mencoba memetakan komisaris dan dewan pengawas BUMN yang melakukan rangkap jabatan. Data ini diambil per 5 September 2023 melalui website Kementerian BUMN, di mana terdapat 12 sektor BUMN dengan jumlah sebanyak 41 perusahaan. Dari 41 perusahaan, 34 diketahui berbentuk perseroan, sedangkan 7 sisanya menggunakan badan hukum perusahaan umum. Untuk perseroan sendiri, jumlah komisarisnya 228 orang, lalu perum diawasi oleh dewan pengawas sebanyak 35 orang. Sehingga total pemetaan yang ICW lakukan sebanyak 263 komisaris dan dewan pengawas BUMN.
Dari total 263 komisaris dan dewan pengawas BUMN, ICW mendeteksi setidaknya terdapat 142 orang yang melakukan rangkap jabatan atau secara persentase sebesar 53,9 persen. Untuk jabatan komisaris BUMN, sebanyak 53% disinyalir melakukan rangkap jabatan. Sedangkan dewan pengawas lebih banyak lagi, yakni, 60%. Rangkap jabatan yang dimaknai oleh ICW ini terdiri dari tiga bagian, yakni:
- Komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di kementerian atau institusi negara;
- Komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di perusahaan swasta;
- Komisaris/dewan pengawas BUMN merangkap di kementerian atau institusi negara dan di perusahaan swasta.
Berdasarkan jenis rangkap jabatan, ICW menemukan setidaknya terdapat 117 komisaris dan dewan pengawas yang berasal dari kementerian atau institusi negara. Kemudian, instrumen pengawas yang rangkap di perusahaan swasta sebanyak 20 orang. Sedangkan yang merangkap di kementerian atau institusi negara dan perusahaan swasta sejumlah 5 orang. Dari pemetaan jabatan di instansi negara paling banyak adalah jabatan Deputi (21 orang), lalu Direktur Jenderal (18 orang), dan staf khusus (18 orang).
Fakta menarik yang ditemukan dalam pemantauan ini ialah diangkatnya 4 orang Wakil Menteri sebagai komisaris BUMN, diantaranya:
- Rosan P Roeslani (Wakil Menteri BUMN) sebagai komisaris PT Pertamina;
- Suahasil Nazara (Wakil Menteri Keuangan) sebagai komisaris PT PLN;
- Muhammad Herindra (Wakil Menteri Pertahanan) sebagai komisaris PT Len Industri;
- Kartika Wirjoatmodjo (Wakil Menteri BUMN) sebagai komisaris PT BRI.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XVII/2019, Wakil Menteri dilarang rangkap jabatan pada perusahaan negara atau swasta. Alasannya, posisi Wakil Menteri, karena sama dengan Menteri yang diangkat oleh Presiden, maka harus juga tunduk pada Pasal 23 huruf b UU Kementerian Negara. Di mana aturan itu melarang melakukan rangkap jabatan. Alasan MK pun rasional dan dapat diterima, yakni, agar Wakil Menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat Wakil Menteri di kementerian tertentu.
Pemetaan ini turut melihat asal instansi dari pejabat yang melakukan rangkap jabatan di BUMN, baik sebagai komisaris maupun dewan pengawas. Tiga kementerian yang pejabatnya paling banyak melakukan rangkap, diantaranya, Kementerian BUMN (19 orang), Kementerian Keuangan (18 orang), dan Kementerian PUPR (9 orang). Jika ditelisik lebih jauh, seluruh pejabat di Kementerian BUMN yang terdiri dari Wakil Menteri, Pejabat Tinggi Madya, Staf Ahli, Staf Khusus, dan Pejabat Tinggi Pratama dengan jumlah sebanyak 34 orang mendapatkan jabatan sebagai komisaris atau dewan pengawas, baik di BUMN maupun anak perusahaannya.
Ada sejumlah argumentasi yang diuraikan dalam penelitian ini guna menolak kebijakan rangkap jabatan pada komisaris dan dewan pengawas di BUMN. Pertama, rangkap jabatan bertentangan dengan hukum positif di Indonesia. Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU 25/2009) secara spesifik menyebutkan bahwa pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.
Kedua, rangkap jabatan dipandang melanggar etika sebagaimana dituangkan dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Pada bagian Etika Politik dan Pemerintahan disampaikan bahwa tujuan penegakan etika untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, dan menjunjung tinggi kepentingan publik. Dalam kaitan dengan rangkap jabatan, di mana situasi itu menimbulkan potensi konflik kepentingan serta menyoal keterbatasan dalam melakukan pelayanan publik, harus dipandang sebagai perbuatan yang melanggar etika. Ketiga, rangkap jabatan berpotensi menghasilkan situasi diskriminatif antar birokrat, khususnya dalam kaitan dengan pendapatan ganda. Sebab, birokrat yang menempati posisi sebagai komisaris dan dewan pengawas BUMN mendapatkan dua penghasilan secara berkala, baik dari perusahaan pelat merah tersebut dan instansi negara tempat ia berasal.
Keempat, rangkap jabatan berpotensi menyebabkan terganggunya profesionalitas. Sebab, rangkap jabatan menimbulkan tuntutan mengenai loyalitas terhadap masing-masing lembaga tempat orang yang bersangkutan bernaung. Bilamana dua institusi tersebut memiliki tujuan yang berbanding terbalik, seperti BUMN sebagai entitas yang cenderung berorientasi mencari keuntungan, dengan kementerian atau lembaga negara yang berfungsi sentral untuk memberikan pelayanan publik, maka bertindak demi kepentingan entitas yang satu dapat berpengaruh terhadap entitas lainnya. Kelima, rangkap jabatan juga menimbulkan persaingan yang tidak sehat antara regulator yaitu Kementerian BUMN, dengan peserta bisnis. Sebagai contoh, seorang pejabat Kementerian BUMN menduduki posisi sebagai komisaris atau dewan pengawas di BUMN. Potensi yang dapat terjadi, pejabat Kementerian BUMN itu akan membuat kebijakan yang berpotensi hanya menguntungkan entitas bisnis BUMN yang ia pimpin, baik sebagai komisaris atau dewan pengawas. Selain itu, komisaris atau dewan pengawas yang rangkap jabatan dengan perusahaan swasta, terlebih dalam satu bidang, berpotensi konflik kepentingan dalam melakukan suatu tindakan atau mengeluarkan sebuah keputusan.
Keenam, rangkap jabatan mengganggu penerapan prinsip GCG. Setidaknya ada tiga nilai dari GCG yang dilanggar dengan tetap dibiarkannya rangkap jabatan, diantaranya, pertanggungjawaban, keterbukaan, dan kemandirian. Pertanggungjawaban yang dimaksud terkait dengan kepatuhan dalam melakukan suatu tindakan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Lalu, aspek keterbukaan menyangkut tindakan seseorang saat menduduki lebih dari satu jabatan dan berpotensi menyembunyikan informasi demi keuntungan salah satu jabatan yang diemban. Sedangkan kemandirian memiliki titik tekan pada potensi konflik kepentingan, sehingga dalam pengambilan keputusan akan dipengaruhi dengan faktor eksternal, salah satunya jabatan di instansi pejabat yang melakukan rangkap jabatan. Ketujuh, rangkap jabatan berpotensi meruntuhkan tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan BUMN itu sendiri. Kritik menyangkut rangkap jabatan komisaris dan dewan pengawas BUMN ini sudah sering dilayangkan oleh berbagai elemen, mulai dari organisasi masyarakat sipil, lembaga negara seperti Ombudsman, bahkan aparat penegak hukum. Sayangnya, kritik itu tak dijawab dengan perbaikan regulasi yang mumpuni dari pemerintah.
ICW merekomendasikan sejumlah perbaikan untuk pengelolaan BUMN mendatang, khususnya pada aspek pengangkatan komisaris dan dewan pengawas. Pertama, kompleksitas dan tersebarnya aturan mengenai rangkap jabatan, baik dalam UU 25/2009 maupun UU 19/2003, mesti diharmonisasi dengan menerbitkan Peraturan Presiden. Aturan itu nantinya menjadi acuan tunggal jika mengulas mengenai praktik rangkap jabatan. Kedua, Menteri BUMN diharapkan dapat menata ulang mekanisme pengangkatan komisaris dan dewan pengawas. Sentralisasi keputusan yang terbatas pada jabatan Menteri atau Wakil Menteri harus diubah. Pemberdayaan lembaga profesional yang kemudian didukung dengan tim teknis kementerian menjadi pilihan terbaik untuk dijadikan dasar bagi Menteri atau Wakil Menteri BUMN mengangkat maupun memberhentikan komisaris dan dewan pengawas di hadapan Rapat Umum Pemegang Saham.
Ketiga, Menteri BUMN harus mengambil tindakan tegas dengan memberhentikan Wakil Menteri yang masih menjabat sebagai komisaris BUMN. Sebab, praktik itu bertentangan dengan putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019. Selain itu, tindakan tegas juga butuh diterapkan kepada komisaris atau dewan pengawas yang merangkap jabatan di perusahaan swasta, di mana bidang usahanya memiliki irisan secara langsung karena secara nyata menimbulkan situasi konflik kepentingan. Selain itu, peran DPR, khususnya Komisi VI, sebagai mitra kerja Kementerian BUMN penting untuk mengawasi secara berkala penerapan GCG di BUMN, khususnya dalam hal pengangkatan komisaris dan dewan pengawas.