PerPPU Cipta Kerja: Menegaskan Pembangkangan Konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan Penunjukkan Sikap Koruptif Pemerintah

Sumber Foto: Humas Setkab/Agung

Politik hukum Indonesia di bawah rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo semakin melenceng. Bagaimana tidak, baru-baru ini pemerintah menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi kala mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PerPPU) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Selain membangkang, pengesahan PerPPU yang tiba-tiba dan dilandasi kegentingan yang mengada-ada meneguhkan tendensi otoritarianisme pemerintah  terhadap kedaulatan rakyat dan peran serta masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Model kerja semacam ini kian menambah daftar panjang keburukan praktik legislasi dewasa ini.

Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan telah meletakkan konstitusionalitas partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Bukan cuma itu, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 kembali menegaskan bahwa partisipasi masyarakat harus sarat akan makna (meaningful participation) dengan aturan: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Alih-alih dilakukan, Presiden malah mengambil ceruk partisipasi masyarakat dengan mengeluarkan aturan dengan landasan subjektivitas melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Logika tindakan Presiden pun semakin berantakan, sebab, pilihan PerPPU justru menutup ruang partisipasi. Sebab, Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa PerPPU merupakan hak prerogatif Presiden di saat berada dalam kegentingan mendesak. Jadi, aturan itu sama sekali menutup ruang partisipasi. Dari sana saja atau mungkin dengan logika paling sederhana, masyarakat dengan mudah memahami betapa rusaknya mekanisme tersebut. Ditambah lagi, tindakan Presiden juga seolah mengabaikan putusan MK. Bagaimana tidak, melalui pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, MK mengatakan bahwa regulasi itu inkonstitusional bersyarat, atau dianggap bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Namun, bukannya diperbaiki dengan membuka ruang partisipasi, Presiden malah mengeluarkan PerPPU.

Jika mengartikan korupsi tidak sekadar dalam bingkai hukum, namun juga mencakup perbuatan menyimpang atau melanggar norma serta etika, maka jelas tindakan pemerintah menyikapi polemik UU Cipta Kerja tergolong koruptif. Oleh karena pengabaian terhadap aspirasi masyarakat, tentu masyarakat akan tiba pada kesimpulan bahwa perlahan-lahan pemerintah mulai membajak demokrasi dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan. Ini bukan kali pertama terjadi, tren serampangan regulasi sudah terlihat dalam beberapa pengundangan, misalnya, UU KPK, KUHP, maupun UU Minerba.

Semenjak pembentukan UU Cipta Kerja yang telah diputus inkonstitusional bersyarat, sudah terang benderang kepentingan siapa yang ingin diakomodir. Para pebisnis, oligark, serta kalangan elit merupakan penerima manfaat utama dari ditekennya UU Cipta Kerja yang kala itu metodenya bahkan tidak diakui oleh hukum positif. Sarat akan konflik kepentingan di kalangan eksekutif maupun legislatif yang mayoritas berlatar belakang pebisnis bahkan pemilik saham perusahaan batu bara, partisipasi masyarakat terdampak lainnya seperti kelompok adat, serikat buruh, serta publik secara umum dikorbankan. Menilik sejumlah rumusan pasal yang juga diteguhkan dalam PerPPU Cipta Kerja, dapat dibaca ke mana arah pemerintah dalam menyusun politik kebijakan. Sebut saja ketentuan mengenai  pemutihan pelanggaran izin berusaha di kawasan hutan bagi pebisnis serta royalti 0 persen bagi perusahaan yang mendukung pebisnis energi kotor yang mau mendukung program hilirisasi batu bara. Semua hal yang melancarkan agenda pengarusutamaan investasi diprioritaskan, meski cita-cita negara hukum Indonesia yang dijadikan korban.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan