Mahkamah Agung Membatalkan Percepatan Pencalegan Mantan Terpidana Korupsi: Bukti Konkret Kebobrokan KPU dalam Menyusun PKPU

Sumber foto: ICW

Mahkamah Agung (MA) akhirnya menjatuhkan putusan uji materi Peraturan KPU (PKPU) terkait polemik percepatan mantan terpidana korupsi dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Sesuai harapan, MA mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Saut Situmorang, dan Abraham Samad. Ringkasnya, majelis hakim sepakat bahwa Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023) dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 (PKPU 11/2023) yang muatannya menambah syarat perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi proses pencalonan anggota legislatif mantan terpidana merupakan pelanggaran hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). 

Perdebatan ini mulai mencuat saat KPU mengeluarkan dua aturan internal tentang pencalonan anggota DPRD Kabupaten, Kota, Provinsi, DPR RI, dan DPD RI pertengahan April lalu. Di mana Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 mengabaikan masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jika dalam vonis mereka memuat pidana tambahan pencabutan hak politik. Sederhananya, menurut logika KPU, seorang terpidana yang dicabut hak politik, misalnya 1 tahun, maka pada tahun ke 2 ia langsung bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Padahal, putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Nomor 12/PUU-XXI/2023 sudah tegas menyebut kewajiban melewati masa jeda waktu lima tahun, tanpa syarat tambahan apapun. 

Ada sejumlah poin penting dari putusan Nomor 28 P/HUM/2023 yang dijadikan pertimbangan untuk membantah logika pikir KPU dalam perumusan PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023. Pertama, majelis hakim menuangkan pandangan bahwa masyarakat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk mendapatkan calon-calon berintegritas yang nantinya akan diusung oleh partai politik sebagai kandidat anggota legislatif. Dibenturkan dengan aturan internal KPU, tentu penambahan syarat berupa pidana tambahan pencabutan hak politik akan menambah rentetan panjang orang-orang bermasalah yang akan tertera di surat suara pada Pemilu tahun 2024 mendatang. Kedua, aturan KPU menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi. Pertimbangan hakim ini pun dapat dipahami, alih-alih semakin membatasi ruang gerak mantan terpidana, KPU justru membuka lebar kesempatan bagi eks pelaku korupsi menjadi calon anggota legislatif. 

Ketiga, dari aspek sosiologis, majelis hakim berpandangan bahwa aturan internal KPU tersebut tidak mencerminkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Seperti diketahui, konsekuensi logis dari pemaknaan tersebut, penanganan tindak pidana korupsi harus keluar dari langgam biasa, salah satunya dengan membatasi mantan terpidana menjabat kembali pada jabatan publik. Bahkan MA mengatakan pembatasan ditujukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh anggota legislatif terpilih yang diketahui tidak berintegritas. Keempat, penambahan syarat berupa pidana tambahan pencabutan hak politik adalah norma baru yang tidak tertuang dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g dan Pasal 182 huruf g UU Pemilu. Di mana dua pasal tersebut telah ditegaskan oleh MK melalui dua putusan di atas bahwa pembatasan masa jeda waktu lima tahun bersifat wajib dan tidak bisa ditafsirkan lain sebagaimana hal yang dimaksud. Maka dari itu, menjadi hal wajar dan tepat jika kemudian MA membatalkan logika pikir KPU dalam PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023. 

Berdasarkan uraian di atas, sebagai Pemohon dalam uji materi, ICW dan Perludem, memberikan sejumlah catatan. Pertama, putusan MA ini menggambarkan secara jelas dan terang benderang betapa bobroknya penyelenggara Pemilu dalam menyusun aturan mengenai pencalonan anggota legislatif. Sebab, baik secara formil yang diketahui tidak partisipatif, aspek materiil juga menuai persoalan karena bertentangan dengan UU Pemilu. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa alasan yang dibuat oleh KPU untuk membenarkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif ini adalah salah dan keliru, bahkan bisa disebut mengada-ada. Kedua, dikabulkannya uji materi ini semakin menguatkan sangkaan masyarakat bahwa aturan internal KPU memang benar-benar merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi. Sebab, hak dasar masyarakat untuk mendapatkan calon berintegritas dirampas oleh KPU. Ketiga, momentum putusan MA yang mengabulkan uji materi para Pemohon kian memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas. Keempat, dibatalkannya sejumlah pasal dalam PKPU 10 dan PKPU 11 tahun 2023 semakin memperburuk citra KPU setelah sebelumnya diterpa kritik masif masyarakat perihal kontroversi verifikasi faktual partai politik, pelanggaran etik Ketua KPU RI, dan polemik keterwakilan perempuan yang juga sempat dibatalkan oleh MA. 

Sebagai Pemohon, kami menuntut agar KPU segera merevisi PKPU 10 dan PKPU 11 Tahun 2023 dengan menghapus syarat pidana tambahan bagi mantan terpidana yang inI ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Perubahan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD juga harus segera dibarengi dengan upaya untuk mencoret calon anggota legislatif yang masih belum memenuhi syarat masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana dari daftar calon sementara (DCS). Tidak hanya itu, kami juga mendesak agar jajaran Komisioner KPU untuk meminta maaf kepada masyarakat karena telah keliru dan ugal-ugalan dalam menyusun aturan mengenai syarat pencalonan anggota legislatif. 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan