Hakordia 2022: Lembar Suram Agenda Pemberantasan Korupsi
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) tahun ini layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Setelah menggempur habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi regulasi kelembagaan, ditambah mengobral remisi dan pembebasan bersyarat kepada para koruptor, kali ini hukuman kepada pelaku korupsi pun berhasil dipangkas melalui pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keseluruhan problematika tersebut dihasilkan dengan jalur politik, khususnya pembentukan undang-undang yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo bersama segenap anggota legislatif di DPR.
Beranjak pada bagian lain, struktur hukum, seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, maupun lembaga kekuasaan kehakiman praktis memburuk setiap tahunnya. Performa KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi juga semakin terpuruk di bawah komando Firli Bahuri. Masalah ini praktis semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Tak kalah buruk, Kepolisian turut menunjukkan tren serupa. Berdasarkan catatan ICW, Korps Bhayangkara hanya mampu menyelesaikan tujuh persen dari total target 813 kasus sepanjang semester pertama tahun 2022. Problematika lain juga berada di Kejaksaan. Sekalipun banyak mengungkap perkara besar, namun kabar pemulihan kerugian keuangan negara jarang terdengar. Ditambah wacana pengampunan pelaku korupsi melalui restorative justice yang belakangan waktu terakhir kerap disampaikan Kejaksaan tanpa ada basis argumentasi. Apalagi kekuasaan kehakiman, ragam vonis ringan disertai pertimbangan ganjil hingga penetapan dua hakim agung sebagai tersangka menunjukkan bobroknya wajah pengadilan di Indonesia.
Dari aspek politik, urgensi menghentikan laju korupsi belum menunjukkan upaya strategi dan hasil yang maksimal. Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang. Data ini semestinya menjadi alarm yang harus disambut dengan pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu. Partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang seharusnya menjalankan fungsi check and balances justru kompak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam penyusunan regulasi bermasalah. Tak cukup itu, konflik kepentingan dengan balutan penunjukkan Penjabat Kepala Dearah tampak terang benderang dipertontonkan oleh pemerintah. Atas dasar itu, tak salah jika kemudian masyarakat melontarkan kritik tajam atas praktik kesewenang-wenangan tersebut.
Seluruh permasalahan di atas terkonfirmasi dalam beragam hasil survei. Misalnya, Survei Indikator Politik Indonesia pada awal tahun memperlihatkan bagaimana masyarakat menilai buruk upaya pemberantasan korupsi saat ini. Lebih dari 40% responden menilai pemberantasan korupsi era Jokowi-Ma’ruf Amin buruk atau sangat buruk. Hanya 5,7% yang menilai baik. Sejalan dengan itu, Indeks Persepsi Korupsi kian lambat beranjak naik, skor tahun 2021 belum lebih baik ketimbang pencapaian tiga tahun lalu. Terlihat bahwa narasi antikorupsi pemerintah dan DPR tidak menunjukkan pencapaian konkret kepada masyarakat.
Di tengah kondisi korupsi terus merajalela dan tidak ada keseriusan pemerintah dalam memberantasnya, masyarakat semakin berada pada posisi yang sulit. Satu sisi, masyarakat semakin merasakan dampak dari korupsi dan kebijakan bermasalah. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada ancaman kriminalisasi saat melapor dugaan korupsi atau menyuarakan kritik atas kebijakan yang semakin tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat.
Hakordia tahun 2022 yang mengambil tema “Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi” diharapkan bukan sekadar jargon, kegiatan seremonial, atau upaya bersolek pemerintah untuk meraup simpati masyarakat. Akan tetapi momen ini harus digunakan sebagai momentum serius pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang kekuasaan untuk mengembalikan ruh pemberantasan korupsi seperti sedia kala.