Empat Tahun Harun Masiku Buron: Bukti Tumpulnya Penindakan KPK
Penindakan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin terasa tumpul. Salah satu perkara yang menyita perhatian masyarakat, yakni, suap Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR RI tahun 2019 lalu tak kunjung terungkap. Sejauh ini KPK baru berhasil meringkus penerima suap, mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan pihak perantara, Saeful Bachri dan Donny Istiqomah. Sedangkan pemberi suap, mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih berkeliaran tanpa adanya proses hukum. Dihitung sejak perkara tersebut naik pada tingkat penyidikan, maka sudah empat tahun pencarian KPK terhadap buronan Masiku mandek begitu saja.
Keganjilan penanganan perkara ini sebenarnya sudah tampak sejak awal, bahkan pada tahap penyelidikan. Indonesia Corruption Watch merangkum lima keganjilan KPK dalam melakukan upaya penindakan perkara Masiku.
- Pembiaran dari Pimpinan KPK terhadap Pegawai yang Diduga Disekap di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
Pada tanggal 8 Januari 2020 tim KPK diketahui mencari keberadaan dua pelaku tindak pidana korupsi dalam perkara suap PAW anggota DPR RI di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Saat menjalankan tugas yang disertai dengan dokumen administrasi penindakan, beberapa orang pegawai KPK justru mendapatkan tindakan tidak menyenangkan dari oknum kepolisian di sana. Bahkan, disinyalir terdapat praktik penyekapan di PTIK. Namun, alih-alih ditindak, setelah kabar ini mencuat ke tengah masyarakat, Pimpinan KPK tak melakukan tindakan perlindungan dan perlawanan apapun.
- Pemulangan Paksa Penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti ke Kepolisian yang Dilakukan oleh Pimpinan KPK
Salah satu Penyidik KPK yang diketahui turut terlibat dalam penanganan perkara Masiku adalah Kompol Rossa Purbo Bekti. Pasca melakukan serangkaian penindakan, ia justru dipulangkan paksa oleh Pimpinan KPK ke instansi asalnya, yakni, kepolisian. Padahal, saat itu Rossa belum memasuki masa purna tugas di KPK dan diketahui juga tidak pernah dikenakan tindakan disiplin atau melanggar kode etik. Sehingga, terdapat kesan kuat di tengah masyarakat bahwa Pimpinan KPK tidak sependapat dengan proses hukum terhadap Masiku.
- Gagalnya Penyegelan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Pada tanggal 9 Januari 2020, tim KPK menyambangi kantor DPP PDIP guna melakukan penyegelan terkait dengan proses penyelidikan perkara suap PAW anggota DPR RI yang melibatkan Masiku. Bukannya diberikan akses, tim KPK justru mendapatkan penolakan dari petugas PDIP. Sayangnya, Pimpinan KPK kembali tidak melakukan tindakan untuk memprotes sikap partai politik tersebut.
- Dugaan Kebohongan antara Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas terkait Rencana Penggeledahan Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Selain soal gagalnya penyegelan Kantor DPP PDIP, juga terjadi silang pendapat pada tahap penyidikan, antara Pimpinan KPK Nurul Ghufron dengan Dewan Pengawas terkait proses perizinan administrasi penggeledahan. Nurul kala itu mengklaim sudah mengirimkan surat permintaan izin kepada Dewas, akan tetapi instrumen pengawas KPK tersebut membantah hal tersebut. Ini mengartikan di antara Nurul dan Dewas ada yang berbohong dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.
- Pimpinan KPK Memberhentikan Pegawai yang Menangani Perkara Masiku melalui Tes Wawasan Kebangsaan
Pada tahun 2021, Pimpinan KPK diketahui bertindak semena-mena dengan melanggar hukum saat memberhentikan 57 pegawai melalui Tes Wawasan Kebangsaan. Di antara puluhan nama pegawai tersebut, terdapat dua orang yang sebelumnya pernah menangani perkara Masiku, yakni, Ronal Sinyal dan Harun Al Rasyid. Kuat dugaan penanganan perkara Masiku turut menjadi salah satu faktor di balik pemberhentian pegawai-pegawai KPK.
Akhir Desember lalu, tepatnya saat KPK memanggil mantan terpidana korupsi yang juga merupakan pelaku dalam perkara suap PAW anggota DPR RI, Wahyu Setiawan sebagai saksi harusnya menjadi momentum untuk kembali membuka lembar kelanjutan proses hukum. Dalam analisa ICW, setidaknya ada empat hal yang harus segera KPK kerjakan guna segera memproses hukum Masiku. Pertama, Pimpinan KPK harus mengevaluasi struktural penindakan KPK yang bertanggungjawab terhadap pencarian Masiku, mulai dari Deputi Penindakan, Direktur Penyidikan, hingga level satuan tugas. Hal ini penting agar kemudian bisa terpetakan di mana sebenarnya hambatan dalam proses hukum terhadap Masiku.
Kedua, Pimpinan KPK harus membangun kerjasama dengan penegak hukum lain, seperti Bareskrim Polri dan Interpol, agar upaya pencarian Masiku bisa lebih maksimal dilakukan. Bahkan, akan lebih baik lagi jika dibentuk tim gabungan yang berada di bawah koordinasi Pimpinan KPK dan Kapolri. Ketiga, pengembangan perkara ini juga mutlak harus dilakukan oleh KPK. Penambahan keterangan Wahyu sebagai saksi harus ditindaklanjuti, misalnya dengan menelusuri sumber uang suap yang diberikan Masiku kepada Komisioner KPU tersebut. Sebab, ada indikasi kuat sumber uang suap Masiku berasal dari pejabat teras partai politik. Keempat, Dewas harus secara berkala mengawasi kerja penindakan KPK terkait pencarian Masiku. Selain karena waktu pencarian yang sudah terlalu lama, isu gagalnya Masiku ini juga kerap dikeluhkan oleh masyarakat. Peran pengawasan Dewas tersebut telah selaras dengan Pasal 37B ayat (1) huruf a UU KPK.
CP:
Kurnia Ramadhana
Diky Anandya